SUDAH PINDAH RUMAH -> ADA KOKO

Potret Kini Pendidikan Kita

Minggu, 28 Maret 2010


TIMES Higher Education Supplement (THES) kembali mengumumkan daftar 500 perguruan tinggi terbaik di dunia. Percaya atau tidak akan hasil survei yang masih dipertanyakan oleh beberapa pakar pendidikan di negeri ini. Hanya enam perguruan tinggi kita yang masuk 500 besar tersebut. Keenam perguruan tinggi; UGM (360), ITB (369), UI (395), UNDIP, Univ Airlangga, dan IPB masuk dalam peringkat 401-500.

Ada hal menarik untuk dicermati, jika mengacu pada hasil survei yang sama dilakukan pada tahun sebeumnya. Tiga perguruan tinggi Indonesia masuk dalam jajaran 300 dunia; UI (250), ITB (258), dan UGM (270). Berselang satu tahun kemudian, tepatnya 2007 ketiganya merosot hingga peringkat mendekati 400 dunia. Beberapa pakar pun mempertanyakan dasar penentuan, dan jika dikaji dengan akal sehat ataupun penalaraan orang awam akan terasa sulit untuk diterima. Mungkinkah kualitas pendidikan di negeri ini turun naik.

Metode THES

Ada empat indikator yang menjadi dasar THES dalam surveinya. Kualitas Penelitian (Research Quality) yang diperoleh dari sebaran angket pada para akademisi menempati bobot terbesar (60%). Dua indikator yang dinilai adalah yang pertama dari hasil Peer Review. Disebarkan angket online ke 190.000 akademisi dimana mereka diminta mengisi pertanyaan berdasarkan bidang kepakaran mereka, yaitu Arts - Humanities, Engineering - IT, Life Sciences - BioMedicine, Natural Sciences dan Social Sciences. Kemudian mereka diminta memilih 30 universitas terbaik dari wilayah mereka sesuai dengan bidang kepakaran tersebut. Indikator kedua adalah Citations per Faculty, alias berapa banyak publikasi paper dari peneliti (professor) di univesitas tersebut dan jumlah citation (kutipan) berdasarkan data dari the Essential Science Indicators (ESI).

Kesiapan lulusan dalam dunia kerja (Graduate Employability) juga menjadi salah satu indikator. Kreterian ini memiliki bobot 10% dengan indikator penilaian Recruiter Review. Penilaian dilakukan berdasarkan hasil survey terhadap 375 perekrut tenaga kerja.

Selain itu jumlah program internasional dan jumlah masahasiswa internasional menjadi indikator yang termasuk dalam Pandangan Internasional (International Outlook) memiliki bobot 10%, dan yang terakhir adalah Kualitas Pengajaran (Teaching Quality) dinilai dari indikator rasio jumlah mahasiswa dan fakultasnya (Student Faculty). Bobot penilaian cukup signifikan karena mencapai 20%.

Jika ditelusuri lagi dari http://uniranks.unifiedself.com, THES tidak menjelaskan dasar teknik penarikan sampel serta penyebaran sampel yang ada. Dari 190.000 kuesioner yang dikirim hanya 3703 yang direspon (2006). Itu artinya hanya 1,94 persen saja dari total kuesioner. Jumlah tersebut pun lebih banyak ditentukan dari respon kemampuan untuk mengakses internet.

Penelitian tersebut tersebar paling banyak direspon oleh Amerika Serikat dan Inggris yaitu 532 respon dari Amerika Serikat dan 378 respon dari Inggris. Namun bagaimana dengan negara-negara Asia, tercatat hanya Malaysia yang merespon 112, Singapura 92 respon, Indonesia 93 respon dan China 76 respon. Selain dari hasil survei, data-data tambahan juga diambil dari organisasi World Scientific, Mardev, JobsDB (Philippines) dan JobStreet (Malaysia).

Nah, apakah terlepas dari pro dan kotra terhadap metode THES. Setuju kiranya dengan pendapat Geger Riyanto (Kompas, 23 Januari 2008), akan lebih arif jika lebih mawas, mengkaji terlebih dahulu survei-survei secara teliti, sehingga tidak salah nantinya dalam penentuan arah dan kebijakan pendidikan di negeri ini.

Potret Pendidikan

Bukan bermaksud menepikan ataupun menyetujui hasil survei yang telah dilakukan, tetapi pada akhirnya kita tidak punya pilihan lain dan potret pendidikan di negeri ini benar-benar tercitra dengan jelas. Bahkan dari data terbaru UNESCO menyebutkan bahwa Indonesia mengalami penurunan empat tingkat dari 58 dunia menjadi 62 dari 130 negara di dunia dalam hal pendidikan. Education Development Index (EDI) kita adalah 0,935 di bawah Brunei (0,965) dan Malaysia (0,945).

Situasi dalam negeri pun ikut memperkuat asumsi akan potret pendidikan kita. Pemerataan akses pendidikan, terutama di tingkat pendidikan dasar dan menengah pertama, belum tercapai. Selain itu terjadi kesenjangan pemerataan akses pendidikan di masyarakat, teruatama yang tinggal di perkotaan dan pedesaan (Kompas, 5 Februari 2008).

Siapa yang mesti dipersalahkan? Kalimat itu yang kemudian mencuat, tetapi sebelum mencari pihak yang mesti bertanggung jawab. Alangkah baiknya jika kita mencitrakan kondisi secara mendalam. Partama, Republik ini begitu kuat dengan POLITIK. Kata yang begitu mendarah daging disetiap elemen kehidupan bangsa. Sebut saja, pada tiap pemerintahan baru pasti akan berganti kurikulum atau dengan bahasa cantik “Kebijakan Pendidikan”. Diakui atau tidak, ini sudah menjadi realita di depan mata. (Sekadar catatan kurikulum yang pernah berlaku: Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, Kurikulum 1994, Kurikulum 2004, Kurikulum 2006).

Kedua, Anggaran Pendidikan. Sebuah persoalan klasik jika berbicara tentang dana anggaran, tetapi kenyataan yang ada tidak dapat dipungkri. Minimnya dana sudah tentu akan menghambat proses pembangunan pendidikan baik infrastruktur maupun suprastruktur. Pada tahun 2008, pemerintah mengalokasikan sebesar 11,8 persen dari APBN untuk pendidikan. Semoga pengalaman tahun 2007, dimana dari Rp43,5 triliun anggaran pendidikan, 25 persen dihabiskan untuk birokrasi, bukan pada peningkatan mutu pendidikan tidak terulang.

Ketiga, Kondisi Sumber Daya Manusia. Tenaga-tenaga bermutu dengan tingkat keahlian mumpuni belum sebanding dengan jumlah tunas-tunas bangsa yang siap menerima ilmu pengetahuan. Ketidak merataan tenaga pendidik yang hanya terfokus di pusat-pusat pemerintahan (kota) dibandingkan daerah-daerah yang jayh dari kota semakin membuat buram potret pendidikan kita. Jika di kota satu mata pelajaran diajarkan oleh dua atau lebih tenaga pendidik, tetapi kondisi di daerah, satu tenaga pengajar akan mengajarkan lebih dari satu mata ajar. Kondisi ini berbanding terbalik, belum lagi tingkat keahlian (kompetensi) yang dimiliki.

Tiga faktor dominan tersebut cukup mewakili peliknya persoalan pendidikan, untuk itu guna menjadikan bangsaa ini cerdas, pintar dan terampil serta berilmu pengetahuan dan teknologi sangat dibutuhkan KOMITMEN yang lebih jelas dengan mengacu pada cita-cita luhur UUD 1945, jika ini masih mau dipegang.

Komitmen bisa dimanifestasikan dalam beberapa wujud, seperti keberanian pemimpin untuk memaksimalkan sektor pendidikan. Salut dan patut diancungkan jempol terhadap beberapaa kepala daerah yang telah berani melahirkan kebijakan pendidikan dengan program sekolah gratis di wilayah masing-masing, dan semoga semakin banyak daerah yang berani untuk menegakkan komitmen ini.

Wujud selanjutnya adalah partisipasi semua pihak untuk proaktif mendukung program-program pendidikan yang mencerdaskan serta aktif dalam pengembangan mutu pendidikan. Kita semua sadar betul bahwa pendidikan adalah hak dasar setiap manusia, sehingga pendidikan tidak hanya bisaaa dinikmati oleh segelintir orang saja. Semoga di masa mendatang anggapan bahwa sekolah di negara maju (kapitalis) lebih murah dibandingkan di Indonesia, bahkan para mahasiswanya hanya menanggung 25-30 persen biaya pendidikan, begitu juga pada tingkat dasar – menengah dibebaskab dari biaya pendidikan. Kapan Indonesia bisa? Inilah pekerjaan rumah bagi kita yang mendiami gugusan pulau bernama Indonesia.***(Prakoso Bhairawa Putera)
READ MORE - Potret Kini Pendidikan Kita

SNMPTN dan Kualitas Pendidikan Tinggi


Selain memberlakukan sistem persentil atau Tes Bidang Studi Prediktif (TBSP) dengan bobot nilai 70 persen, SNMPTN juga menambahkan satu materi tes lain, yaitu Tes Potensi Akademik (TPA) dengan bobot penilaian 30 persen. Ir Adang Surahman, (Kompas, 2 Juni 2009) menyatakan penyelenggara mengambil kebijakan penambahan komponen ujian dengan TPA, karena diharapkan menjadi indikator penilaian intelegensia alamiah peserta, dan juga untuk menjaring siswa yang betul-betul memiliki kemampuan yang komprehensif. TPA juga bebas dari kontaminasi bimbingan belajar (bimbel). Selama ini kebanyakan siswa yang lulus dan bisa mengerjakan soal tes karena telah hapal rumus yang didapatkan di bimbel dan bukan murni kemampuan berpikir mereka sendiri.

Berdasarkan jumlah peminat, SNMPTN tahun ini mengalami peningkatan sekitar 10%. Selain itu dari sistem penilaian hasil. Penilaian hasil ujian seleksi nasional kali ini benar-benar berbeda.

Sistem Penilaian Presentil

Sistem persentil mulai diberlakukan dalam penilaian SNMPTN tahun ini. Jika tahun sebelumnya, dengan skor 4 jika jawaban benar, 0 jika tidak diisi, dan minus 1 jika salah, skor tersebut langsung dijumlahkan dan menjadi nilai akhir peserta SNMPTN. Ketika siswa tidak mengisi salah satu mata pelajaran dan mengisi mata pelajaran lain yang dia kuasai, nilainya tertutup oleh nilai mata pelajaran yang dikuasainya.

Sehingga bisa saja terjadi (dan mungkin sering terjadi) seseorang Jurusan IPA di sekolahnya ngambil IPS di SNMPTN dan tembus ke Akuntansi PTN A atau Fikom PTN B, karena bagus di Matematika sementara pelajaran Ekonominya jelek. Sistem penilaian semacam ini (sistem lama), bila ada mata pelajaran yang terkesan sulit, raihan nilai siswa cenderung rendah. Penyebabnya bisa jadi siswa “kurang berminat” mengerjakannya. “Padahal setiap mata pelajaran itu sama pentingnya untuk diujikan.

Namun, sistem seperti itu tidak akan berlaku lagi tahun ini. Sistem penilaian presentil menghendaki peserta ujian mengerjakan semua mata pelajaran yang diujikan dalam Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) 2009. Tindakan pengosongan satu mata pelajaran saja menyebabkan peserta tidak lolos seleksi.

Sistem persentil ini, setiap mata pelajaran akan mendapat porsi yang sama dalam penilaian. Sehingga, skor yang diperoleh tidak langsung dijumlahkan, tetapi diperingkat dahulu dengan penghitungan “persentil= 100 x (1-peringkat siswa/peserta)”. Artinya, lolosnya siswa tergantung dari jumlah skor setiap mata pelajaran, peringkat skornya secara nasional, dan jumlah peserta.

Peserta yang mendapatkan nilai tinggi di salah satu mata pelajaran, belum tentu lolos jika lemah di pelajaran lain. Intinya, mereka yang lolos adalah yang nilainya bagus di setiap mata uji. Ini juga akan mengurangi angka DO di Perguruan Tinggi Negeri yang dipilih dan kehadiran mahasiswa baru hasil SNMPTN tahun ini benar-benar hasil terbaik dan yang layak.

Paradigma Baru

Kehadiran sistem penerimaan semacam ini menjadi paradigma baru, sehingga asumsi tentang adanya banyak perguruan tinggi yang mendahulukan kuantitas daripada kualitas pendidikan, bisa sedikit ditepis.

Namun, kita juga tidak bisa menutup mata, tetap masih ada yang melakukan praktik semacam itu. Banyak perguruan tinggi yang mengedepankan kemampuan mereka untuk survive dulu dengan mencari pemasukan sebanyak-banyaknya dari SPP mahasiswa. Demikian pula dengan beberapa perguruan tinggi negeri yang berubah statusnya menjadi BHP, dimana mereka dituntut untuk dapat mandiri dalam mengelola keuangannya.

Dengan meningkatkan kualitas pendidikan, dimulai dengan paradigma baru sejak pola requitmen diharapkan hadirnya lulusan perguruan tinggi pun akan lebih mudah dilirik oleh perusahaan-perusahaan serta institusi-institusi ternama yang pada gilirannya nanti akan meningkatkan reputasi perguruan tinggi di Indonesia.

Sisi lain, guna meningkatkan kualitas pendidikan tinggi tentu saja diperlukan faktor pendukung seperti gedung, fasilitas belajar-mengajar, perpustakaan, dan manajemen pendidikan merupakan hal penting yang harus selalu dicoba ditingkatkan kualitasnya. Namun hal yang paling utama adalah ketersediaan sumber daya manusia berupa staf akademis yang qualified dan berkomitmen. Kemampuan perguruan tinggi untuk menarik dan mempertahankan staf akademis yang berkualitas adalah kuncinya.

Peningkatan kualitas pendidikan dan peningkatan riset menjadi hal yang saling mendukung dalam peningkatan kualitas pendidikan tinggi secara umum. Meningkatkan riset dan kualitas pendidikan ini adalah kunci agar perguruan tinggi-perguruan tinggi di Indonesia bisa lebih kompetitif di mata internasional. Suatu perjuangan berat yang tidak mudah namun tetap harus dimulai bagaimanapun juga beratnya.

Kualitas pendidikan tinggi merupakan output proses pendidikan tinggi yang dikelola sebuah perguruan tinggi. Memasuki pendidikan tinggi berarti membeli jasa pendidikan tinggi. Keputusan memilih suatu perguruan tinggi merupakan suatu keputusan investasi. Investasi itu harus menguntungkan konsumen setelah dinyatakan lulus oleh perguruan tinggi tersebut. Karena selain membutuhkan dana yang cukup, kuliah di perguruan tinggi juga menghabiskan waktu yang cukup lama. Oleh sebab itu, konsumen pendidikan tinggi harus memiliki kesiapan dalam pertarung ini.

Gonjang-ganjing tentang mutu pendidikan tinggi yang semakin disorot akhir-akhir ini membuat banyak pihak yang terlibat mulai bingung, seperti apa sebenarnya konsep pendidikan tinggi yang ideal di Indonesia. Karena banyak bukti menunjukkan pendidikan tinggi di Indonesia jauh tertinggal di bandingkan negara lain. Meskipun kita bersikap masa bodoh dengan survei yang menyatakan posisi pendidikan tinggi Indonesia termasuk papan bawah di Asia bahkan di dunia, ada baiknya kita melirik bagaimana sebenarnya sistem pendidikan tinggi di negara-negara yang tergolong maju.

Jika dikembalikan pada SNMPTN tidak lebih dari 20 persen peserta tes SPMB-PTN yang dinyatankan lulus. Kondisi amat terbatasnya daya tampung Perguruan Tinggi Negeri (PTN), memberi kesempatan luas kepada peguruan tinggi swasta untuk memasuki pasar perguruan tinggi. Selain itu, beberapa perguruan tinggi swasta memiliki rasa percaya diri yang cukup tinggi bahwa mereka memiliki segmen pasar tersendiri, sehingga tidak bergantung kepada hasil SPMB. Dari sisi PTS, besarnya pangsa pasar perguruan tinggi yang dikuasainya merupakan simbol kesuksesan. Dari sisi calon konsumen pendidikan tinggi, kualitas pendidikan tinggi yang akan dibeli merupakan suatu tuntutan.

Apapun yang akan dihasilkan setelah kelarnya hajatan besar ini, semuanya adalah rangkaian dari sebuah proses panjang untuk menuai kualitas sumber daya manusia Indonesia Unggul.***
READ MORE - SNMPTN dan Kualitas Pendidikan Tinggi

Moment Prakoso Bhairawa Dua Tahun,..

islamic book fair 2010

foto-foto ini adalah sebagian dari banyaknya moment terbaik,..nah mulai posting ini akan muncul satu persatu momet terbaik dua tahun terakhir,..


diklat fungsional peneliti tingkat lanjut angkatan 1 - 2009

world book day 2009 - mei 2009

all crew pappiptek - januari 2009

kerja bareng all crew pappiptek - januari 2009

bareng-bareng kelompok ketar ketir,..- juni 2008
READ MORE - Moment Prakoso Bhairawa Dua Tahun,..

Prakoso Bhairawa, Kurang Seminggu Selesaikan Tiga Buku

Rabu, 24 Maret 2010


Annida-Online--Prakoso “Koko” Bhairawa, Duta Bahasa 2006 dari Pusat Bahasa memang tak bisa lepas dari keyboard komputer. Kabar terbaru, Koko baru saja menyelesaikan tiga buku sekaligus yang tuntas selama lima hari. Tiga buku ini sedang dalam proses penerbitan Ganexa Exact Bandung. Masing-masing Ayo Ngeblog: Cara Praktis Jadi Blogger, Membaca dan Memahami Cerpen, dan Membaca Cerita Rakyat Kerinci: Pendekar Bujang Senaya.

“Menarik prosesnya cukup cepat. Tiga buku itu dikerjakan dalam lima hari saja. Hanya buku ngeblog yang prosesnya cukup banyak editan,” ujar Koko mengenai bukunya tersebut.

Buku-buku terbaru Koko, yang unik adalah tidak bisa didapatkan secara komersial. Pasalnya buku-buku ini merupakan materi pengayaan untuk pelajar SMP, sehingga begitu usai cetak akan didistribusikan ke seluruh SMP di Indonesia. Beberapa bukunya yang bisa didapatkan di toko buku adalah Aku Lelah Menjadi Cantik yang mendapat nominasi Khatulistiwa Literary Award 2009 dan beberapa serial cerita rakyat dari Sumatera Selatan.

“Kalau ditanya berapa bukunya, sebenarnya nggak banyak kayak teman-teman Forum Lingkar Pena yang lain,” tambahnya. Meskipun demikian Koko mengaku senang bisa menuliskan kembali cerita rakyat sebagai bacaan anak Indonesia. Setidaknya sampai hari ini sudah ada enam buku cerita rakyat karyanya yang beredar. Artinya dongeng, mitos, ataupun legenda daerah masih punya tempat di dunia literasi Indonesia. Sedangkan untuk buku Membaca dan Memahami Cerpen, isinya membahas cerpen-cerpen yang pernah ditulisnya.

“Tetapi diberikan pemahaman untuk membaca. Semacam pengetahuan awal tentang cerpen dan unsure-unsurnya. Semuanya menggunakan bahasa yang sederhana dan khas untuk anak SMP,” jelasnya.

Selain menulis buku-buku pengayaan, Koko masih tetap menulis banyak artikel untuk berbagai media massa. Terutama mengenai sastra, sosial budaya, serta teknologi sesuai minat finalis Remaja Berprestasi Annida ini. [Elzam]

Sumber: Annida Online, 24 Maret 2010
READ MORE - Prakoso Bhairawa, Kurang Seminggu Selesaikan Tiga Buku

Potret Riset Perguruan Tinggi Kita

Senin, 22 Maret 2010

Sebagai negara berkembang yang ada di kawasan Asia Tenggara tentu saja masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh bangsa Indonesia yang besar ini, apabila hendak mencapai terwujudnya kualitas sumber daya manusia yang baik. Tidak dapat dipungkiri juga bahwa pada saat ini dalam mencapai terwujudnya kualitas sumber daya tersebut peran lembaga pendidikan dan peran institusi yang berkaitan juga sangat diharapkan partisipasi aktif bersama dengan lembaga terkait.

Kemampuan melakukan riset atau penelitian merupakan indikator untuk melihat kualitas sumber daya manusia, terlebih pada pendidikan tinggi. Fenomena yang terjadi pada pendidikan tinggi di Indonesia justru cukup klasik, yaitu rendahnya kemampuan melakukan riset. Fenomena ini berlawanan dengan jumlah kampus perguruan tinggi yang tersebar di Indonesia yang jumlahnya lebih dari 1.000 kampus. Dengan jumlah sebesar itu, seharusnya tingkat produktifitas keluaran riset/penelitian harus sebanding bahkan lebih tinggi dari jumlah kampus-kampus yang ada.

Hasil mengejutkan dikeluarkan oleh Times Higher Education Supplement (THES) yang dibeberkan majalah Time awal bulan November 2006 kemarin mengenai World University Rankings, hanya ada 4 (empat) perguruan tinggi negeri di Indonesia yang masuk dalam jajaran 500 kampus termasyur dunia. Universitas Indonesia (UI) berada diperingkat 250, Institut Teknologi Bandung (ITB) pada peringkat 258, Universitas Gadjah Mada (UGM) pada peringkat 270, dan Universitas Diponegoro (Undip) pada peringkat 495. kriteria penelian survei itu berkisar pada research quality, graduate employability, international outlook, dan teaching quality.

Hasil ini menjadi catatan kita bersama, dari sekitar 1.000 perguruan tinggi di negeri ini hanya 4 saja yang masuk 500 dunia. Ironis, lantas bagaimana nasib perguruan tinggi kita?

Tampaknya untuk menciptakan apalagi membudayakan trend riset di provinsi yang konon sedang giat-giat mencanangkan pembangunan ini masih sangat minim dan miskin. Hal ini sebanding dengan keberadaan jumlah perguruan tinggi yang ada di wilayah provinsi ini yang jumlahnya tidak kurang dari 30 perguruan tinggi. Kita bisa melihat sampai saat ini, jarang atau hanya beberapa produk riset, jurnal ataupun karya tulis ilmiah yang dipublikasi dan beredar di masyarakat made in Indonesia ini.

Riset adalah program yang memiliki makna dan fungsi strategis dalam pengembangan kualitas pendidikan sebuah institusi pendidikan. Hal ini sejalan dengan fungsi Tri Dharma Perguruan Tinggi yang menekankan sinergisitas kampus sebagai institut pendidik, penelitian sekaligus pengabdian kepada masyarakat. Tak jarang, reputasi sebuah perguruan tinggi dipertaruhkan melalui ajang riset ataupun lomba penelitian bidang ilmu.

Mengkondisikan sebuah kampus agar memiliki power adalah sebuah proses dan kerja di dalamnya. Ada empat hal yang menjadi sumber energi bagi sebuah kampus, yakni; adanya selektivitas mahasiswa yang diterima menurut standar kriteria yang ditetapkan, kualitas pendidik yang dilihat dari pola rekrutmen dan sistem pengembangan karier, kualitas pengelolaan/manajemen, dan kualitas hasil penelitian dan pengabdian pada masyarakat.

Pada sebuah perguruan tinggi negeri di provinsi ini setiap tahunnya selalu mengadakan ajang lomba penelitian bidang ilmu yang diperuntukkan bagi para mahasiswa yang jumlahnya lebih dari 3.000 calon intelektual muda. Ajang tersebut dibagi atas 3 kelompok ilmu, yaitu sosial, alam, dan pendidikan. Sebuah ajang kompetisi yang paling sehat dan bermutu di kalangan mahasiswa ini ternyata kurang diminati oleh calon-calon intelektual muda di perguruan tinggi tersebut. Setiap tahunnya tercatat tidak lebih dari 9-13 naskah hasil penelitian dari tiap bidang yang berkompetisi. Wajar jika kemudian nama-nama perguruan tinggi di provinsi ini tenggelam dalam dominasi perguruan tinggi besar yang begitu merajai program riset yang dikompetisikan oleh Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti).

Kampus-kampus tersebut begitu produktif dalam menghasilkan riset. Bahkan tidak jarang, kebanyakan civitas kampusnya tersebut rajin membuat karya ilmiah yang dipublikasi oleh penerbit buku tertentu. Ketenaran nama kampus tersebut makin harum terlebih ketika calon intektual muda mereka berduyun-duyun mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa (PKM), Kontes Robot, Program Pemikiran Kritis Mahasiswa (PPKM) dan sederet kompetisi ilmiah yang cukup bergengsi di negeri ini.

Dari data yang diperoleh sepanjang tahun 2005 tercatat 701 mahasiswa dari perguruan tinggi negeri dan 134 mahasiswa dari perguruan tinggi swasta ikut meramaikan kompetisi ilmiah yang diselenggarakan oleh Dirjen Dikti. Dari sekian banyak jumlah mahasiswa tersebut, terdapat 13 perguruan tinggi yang paling responsif dalam mengikuti kegiatan penalaran mahasiswa tersebut, yakin; Universitas Brawijaya, UGM, IPB, ITB, Universitas Airlangga, UM, UNP, UNESA, IKIP Singaraja, UNES, UNTAN, ITS, dan UNS. Pertanyaan kembali muncul ada dimana perguruan tinggi kita lainnya?

Kenapa Harus Riset?

Prof Sukamto pernah mengemukakan ada 4 pilar penentu reputasi perguruan tinggi; pertama, reputasi kampus ditentukan oleh kualitas mahasiswa yang diluluskan. Hal ini wajar mengingat mahasiswa-mahasiswa tersebut nantinya akan menjadi duta-duta kampus di masyarakat. Kualitas mahasiswa ditunjukkan dengan selektivitas yang tinggi dan potensi akademik tinggi. Kedua, kualitas pendidik dengan kualitas yang tinggi beserta prestasi yang diraihnya di tingkat nasional/internasional. Ketiga, kualitas lulusan yang berprestasi dalam kariernya di masyarakat. Masyarakat sekarang sudah sangat cerdas dan mudah menghargai keberadaan alumni sebuah institusi yang mempunyai manfaat dan kontribusi dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Keempat, reputasi sebuah perguruan tinggi sangat ditentukan dengan ada/tidaknya kontribusi karya ilmiah dan sumbangsih nyata bagi masyarakat tingkat nasional/internasional.

Sebenarnya seluruh hukum, aksioma, teori hingga praktek aplikasi merupakan buah dari riset, baik disadari maupun tidak. Bayangkan, seorang Newton yang namanya populer dalam hukum fisika, menemukan salah satu hukum fisika hanya berawal dari melihat sebutir apel yang jatuh ke bumi.

Secara gamblang, riset/penelitian yang dilakukan akan menghasilkan manfaat, diantaranya terciptanya sumber daya manusia berkualitas yang memiliki kemampuan riset dengan karakter ilmiah, kritis, berani menerima tantangan dan solution maker. Riset juga akan melahirkan pengetahuan baru. Dari hari ke hari dapat kita lihat disiplin ilmu di dunia semakin beragam dan spesifik.

Rendahnya budaya riset perguruan tinggi di Banten ini tentu saja dilatarbelakangi oleh beberapa faktor. Pertama, tendensi pola pikir pelaku pendidikan tinggi yakni dosen dan terutama mahasiswa yang masih berfikir Tidak Mau Susah. Seringkali kita terjebak dengan rutinitas jadwal mengajar dan mahasiswapun berjebak dalam behavior 3K, kampus, kantin dan kost, serta 3D, yaitu Datang, Duduk, dan Diam. Pola pikir ini ditakutkan menjadi paradigma permanen yang lengket di dalam hidup mereka. Kedua, kurangnya kemampuan intelektual civitas kampus dalam menyusun riset. Tidak sedikit dosen maupun mahasiswa ketika ditanya bagaimana menyusun proposal penelitian hingga teknis penelitian, rata-rata menyatakan be silent atau ketidaktahuan. Ketiga, tidak adanya atmosfer akademik dan sosio edukasi yang kondusif bagi muncul dan berkembangnya riset diperguruan tinggi, dan keterbatasan dana. Kondisi klasik ini sudah terlanjur di cap ajian pamungkas ketika sebuah program kegiatan tidak bisa dikerjakan.

Terobosan Cerdas

Sebelum kondisi diatas berkembang menjadi sebuah alergi akut apalagi syndrom anti riset. Kerja dan terobosan cerdas harus dicari untuk mengcounter kasus-kasus di atas. Ada beberapa terobosan yang mungkin saja dapat menjadi pencerahan bagi dunia riset kita.

Pertama, perlu diciptakan atmosfer riset. Hal ini merupakan kata kunci, atmosfer ini harus benar-benar berkembang menjadi budaya bahkan hobi, dan lokasinya tidak hanya sebatas kampus tetapi juga di tengah-tengah masyarakat. Kedua, adanya apresiasi berupa penghargaan terhadap hasil-hasil riset yang dipublikasi. Dalam konteks psikologi, apresiasi merupakan bentuk perhatian yang nilainya bak mutiara berkilau. Ketiga, stimulan aktif dari pemerintah selaku pihak yang berkewajiban meningkatkan kualitas pendidikan pada perguruan tinggi.

Koordinasi pelaksanaan riset selama ini memang masih dimotori oleh Dirjen Dikti. Namun, keterbatasan yang dimiliki oleh lembaga ini hendaknya turut diback up oleh pemerintah daerah, apalagi bila riset yang dilaksanakan tersebut menghasilkan produk yang sifatnya aplikatif bagi pemerintah, kalangan swasta dan masyarakat.*** Prakoso Bhairawa Putera S
READ MORE - Potret Riset Perguruan Tinggi Kita

PERANAN MEDIA CETAK LOKAL

Senin, 15 Maret 2010

Bangka Pos dan Pemertahanan Bahasa Ibu (Bagian III)

OLeh: Prakoso Bhairawa PUTERA,
Duta Bahasa tingkat Nasional 2006 dan Peneliti LIPI

dipublikasi di Bangka Pos, edisi Minggu (14 Maret 2010)

Fishman (1972) menyebutkan bahwa salah satu faktor penting pemertahanan sebuah bahasa adalah adanya loyalitas masyarakat pendukungnya. Dengan loyalitas itu, pendukung suatu bahasa akan tetap mewariskan bahasanya dari generasi ke generasi. Selain itu juga Holmes (1993) dalam Arka (2009) menunjuk tiga faktor utama yang berhubungan dengan keberhasilan pemertahanan bahasa. Pertama, jumlah orang yang mengakui bahasa tersebut sebagai bahasa ibu mereka. Kedua, jumlah media yang mendukung bahasa tersebut dalam masyarakat (sekolah, publikasi, radio, dan lain-lain. Ketiga, indeks yang berhubungan dengan jumlah orang yang mengakui dengan perbandingan total dari media-media pendukung.

Berdasarkan hal tersebut maka media cetak lokal (Bangka Pos Group) telah sejak awal penerbitan (1999) memasukkan unsur bahasa ibu (melayu Bangka Belitung) dalam penerbitan. Keberpihakan Harian Pagi Bangka Pos terlihat dari tampil pertama kali dengan motto “Yo Kite Punye Provinsi!” atau dalam bahasa Indonesianya “Ayo kita punya Provinsi!”. Penggunaan kata “Yo”, “Kite”, dan “Punye” jelas merupakan bahasa ibu yang beredar penggunaanya di wilayah Bangka Belitung. Perkembangan berikutnya setelah provinsi terwujud, koran ini bersemboyan “Yo Kite Bangun Provinsi!” atau “Ayo Kita Bangun Provinsi”. Di tahun-tahun berikutnya harapan dan semangat terus di suarakan Bangka Pos dan Pos Belitung dalam slogan-slogannya seperti “Korannya Masyarakat Bangka Belitung”, “Bersyukur Membawa Perubahan”, “Yo Berdemokrasi Tanpa Anarki”, “Sewindu Menembus Kalbu”, dan “Sprit Baru Negeri Serumpun Sebalai”. Kondisi semacam ini mencerminkan adanya kepedulian besar terhadap pemertahanan bahasa ibu.

Pemertahanan bahasa ibu (melayu Bangka Belitung) semakin ditunjukkan oleh Bangka Pos dengan menghadirkan rubrikasi (kolom) halaman budaya pada edisi mingguan. Bersepakat dengan Suryadin (2008) bahwa pada prinsipnya media massa berkewajiban mengembangkan seni dan budaya daerahnya masing-masing. Hal ini membuktikan media massa tidak semata-mata mengejar profit, tetapi juga memiliki idialisme dalam memajukkan seni dan budaya khususnya di daerahnya Bangka Belitung.

Bahkan Harian Pagi Bangka Pos memuat kolom khusus budaya yang sangat kental. Ada rubrik puisi berbahasa melayu Bangka yang diasuh oleh Amang Ikak dengan nama rubrikasi Hikayat. Tidak hanya itu untuk menambah semaraknya penggunaan bahasa melayu Bangka, media cetak lokal yang terbit di Pangkalpinang ini menghadirkan humor-humor segar dalam bentuk pantun berbahasa daerah (bisa juga dinamakan bahasa ibu, sehari-hari yang digunakan). Rubrikasi ini diberi nama Bujang Besaot. Pantun yang disajikan rata-rata 21 – 30 pantun di setiap edisi mingguan merupakan kiriman dari para pembaca kedua media tersebut.

Berdasarkan penerbitan edisi Juli 2009 – Januari 2010, halaman kolom Hikayat (Bangka Pos) acap kali memuat puisi-puisi dengan masalah-masalah aktual di daerah. Pada Puisi Amang Ikak (Suryadin, 2008) selalu bercerita tentang keadaan yang terjadi di Bangka Belitung baik yang berlatar sosial, keadaan alam, politik, budaya, dan lain sebagainya.

Penyajian puisi-puisi tersebut sangat khas. Puisi Amang Ikak setidaknya memiliki empat ciri khusus sebagai berikut: 1) Penggunaan bahasa ibu bangka (pangkalpinang) adalah ciri utama dari puisi ini, 2) Puisi ini sangat terikat dengan pola-pola puisi lama khas gurindam melayu, 3) Pola runtunan puisi diawali dengan gaya humor kemudian berbicara realita dan diakhiri dengan saran ataupun pandangan pribadi penulis terhadap masalah, 4) tanggal pembuatan dan selalu khas dengan kelekak lukok, dan 5) Puisi ini memuat kamus bahasa yang mempermudahkan bagi pembaca untuk mengetahui.

Seperti pada edisi Aek Tatong yang bercerita tentang buruknya drainase kota sehingga ketika musim hujan turun banyak menimbulkan genangan yang oleh masyarakat setempat dinamakan Aek Tatong. Jika diperhatikan pada alinea 1-3 merupakan pengantar khas dengan gaya humor, lalu mulai aline 4-6 merupakan realita keadaan tentang dampak buruknya drainase kota, sedangkan dialinea terakhir (alinea 7) merupakan saran dari penulis.

Rubrikasi Amang Ikak (Hikayat) menjadi sarana pemertahanan terhadap bahasa ibu (melayu Bangka) yang baik. Selain menuliskan puisi dalam bahasa melayu Bangka, puisi tersebut memuat kamus yang menjadikan rubrik ini paling unggul diantara rubrik-rubrik yang lain. Pemuatan kamus dibagian bawah rubrik mempermudah pembaca baik anak-anak ataupun pendatang untuk memahami bahasa ibu (melayu Bangka).
READ MORE - PERANAN MEDIA CETAK LOKAL

Majalah Biskom Edisi Maret 2010

Majalah BISKOM kali ini menampilkan Country Manager Commercial Business Lenovo Indonesia, Sandy Lumy (Terima kasih kepada Lenovo Indonesia yang turut mendukung Majalah BISKOM). Dalam kesempatan ini, kami sekaligus menawarkan kepada seluruh pembaca untuk bekerjasama saling menguntungkan dengan Majalah BISKOM, baik berupa pengiriman artikel TI, mengadakan seminar, workshop dan pameran serta kegiatan-kegiatan lainnya yang berkaitan dengan dunia TI.

Topik menarik Majalah BISKOM Edisi Maret 2010 diantaranya:

• COVER STORY:
- Country Manager Commercial Business Lenovo Indonesia, Sandy Lumy, Lenovo Fokus di Pasar UKM

• FIGURE:
- Ikak G. Patriastomo, 2012, Semua Intansi Gunakan e-Proc
- Haryadi Handoko, Penegakan Hukum Masih Lemah
- Ika Mardiah, Perlu Political Will Kembangkan LPSE
- Didie B Tedjosumirat, Penting, Sertifikasi Terkait ACFTA

• HEADLINE:
- e-Proc: Pangkas Anggaran

• FOCUS:
- Menyoal Regulasi Industri Cakram Optik
- Menebar Hotspot di Taman Kota
- Ketika RPM Konten Multimedia Ditolak
- Razia Pelajar Di Warnet, Efektifkah?

• INSPIRATION:
- Dirgayuza Setiawan: Kedewasaan Digital: Apa, Mengapa dan Bagaimana?
- Atang Setiawan: Cybercrime, Sebuah Tipologi Kejahatan Baru
- Arli Aditya Parkesit: CLI Untuk Bioinformatika di Plaform Linux
- Muhamad Jafar Elly: RPM Konten Multimedia dan Kebebasan Berekspresi di Ruang Maya
- Prakoso Bhairawa Putera S: Blog Juga Punya ISSN

• REVIEW & CELLULAR:
- Lenovo IdeaPad U1
- ASUS Eee PC 1008P
- Acer Aspire One A0535h
- Samsung SF-650P
- Kingston MicroSDHC Class 10
- NOKIA C5
- Sony Ericsson VIVAZ
- LG GD880 MINI
- MOTOROLA BACKFLIP
- SAMSUNG OMNIA II
READ MORE - Majalah Biskom Edisi Maret 2010

Bangka Pos dan Pemertahanan Bahasa Ibu (Bagian II)

Kamis, 11 Maret 2010

Maraknya media cetak di daerah memberikan informasi kedaerahan secara lebih lengkap dan sesuai dengan kebutuhan daerah. Selain itu juga hadirnya media cetak lokal berpengaruh terhadap ragam bahasa yang dipublikasi ditiap halaman media tersebut. Hal ini disadari karena segmen pembaca media lokal akan merasa lebih dekat dengan media tersebut jika menggunakan ragam bahasa yang sehari-hari digunakan, dalam hal ini tidak menutup kemungkinan berupa bahasa daerah.

Penggunaan bahasa di media cetak erat kaitan dengan fungsi media sebagai sarana pendidikan dan pencerdasan melalui informasi yang diberikan oleh media. Fungsi inipun selaras dengan rekomendasi UNESCO (1951) yang menjadikan penggunaan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar pendidikan. Bahasa ibu (bahasa asli, bahasa pertama; secara harafiah mother tongue dalam bahasa Inggris) adalah bahasa pertama yang dipelajari oleh seseorang. Dan orangnya disebut penutur asli dari bahasa tersebut. Biasanya seorang anak belajar dasar-dasar bahasa pertama mereka dari keluarga mereka (Wikipedia, 2009). Media cetak lokal sebagai sarana pendidikan juga menanggung tanggup jawab untuk memberikan ruang bagi penggunaan bahasa ibu.

Bangka Belitung sebagai sebuah provinsi baru yang lahir setelah reformasi (Juli 2000) memiliki beberapa media cetak lokal. Namun, pada tulisan ini hanya membatasi pada media cetak terbitan Bangka Pos Group yaitu: Bangka Pos. Pembatasan ini dilakukan untuk melihat fokus media terhadap penggunaan ragam bahasa dipublikasinya. Ragam bahasa ini terutama bahasa ibu dalam wilayah Bangka Belitung.

PEMERTAHANAN BAHASA (SUATU KONSEP AWAL)

Pemertahanan Bahasa berhubungan dengan perubahan bahasa (language change), peralihan bahasa (language shift) dan kematian bahasa (language death). Hoffman (1991) dalam Fauzi (2008) menjelaskan bahwa ketika sebuah komunitas bahasa tidak mampu mempertahankan bahasanya, dan secara gradual memungut kosa kata bahasa yang lain, maka hal itu sudah mengarah kepada pergeseran bahasa (language shift). Sementara itu, ‘pemertahanan bahasa’ (language maintenance) lebih mengacu kepada sebuah situasi di mana anggota-anggota sebuah komunitas bahasa mencoba untuk menjaga bahasa yang mereka miliki dengan cara selalu menggunakannya. Jika pada suatu keadaan menginginkan adanya pemertahanan bahasa yang terjadi, maka pada saat itu masyarakat memutuskan untuk meneruskan pemakaian bahasa (atau unsur kebahasaan) yang selama itu digunakan.

Masalah pemertahanan bahasa tidak menjadi isu pada kelompok penutur bahasa besar dan kuat. Arka (2009) dalam penelitiannya memaparkan pemertahanan tidak dilakukan sepenuhnya secara sadar. Untuk bahasa minoritas, terpinggirkan, dan terancam punah, masalah pemertahanan bahasa menjadi isu dan mesti dilakukan penuh kesadaran dan dengan berbagai upaya. Karenanya, definisi pemertahanan bahasa yang ada biasanya dikaitkan dengan pemertahanan bahasa untuk bahasa terdesak/minoritas, yang didalamnya terkandung usaha terencana dan sadar untuk mencegah merosotnya penggunaan bahasa dalam kaitan berbagai kondisi tertentu, yang bisa mengarah ke perpindahan bahasa (language shift) atau ke kematian bahasa (language death).

Konsep-konsep seperti yang dijelaskan diatas menempatkan adanya keterlibatan media cetak terutama media cetak lokal dalam pemertahanan bahasa ibu. Sehingga pada konsep pemertahanan pada makalah ini diartikan sebagai keadaan dimana keterlibatan media cetak lokal untuk meneruskan pemakaian bahasa ibu dalam penerbitan media tersebut.(bersambung)
READ MORE - Bangka Pos dan Pemertahanan Bahasa Ibu (Bagian II)

Krakatau Award 2010

Senin, 08 Maret 2010

DEWAN Kesenian Lampung (DKL) kembali menggelar Krakatau Award 2010. Untuk tahun ini berupa lomba penulisan cerpen tingkat nasional. Penghargaan akan diberikan kepada empat cerpen terbaik masing-masing juara I hingga IV, serta enam nominasi nonranking. Lomba penulisan cerpen ”Krakatau Award 2010” ini bertema ”Lampung: Lokal-Global”, yaitu cerpen harus bersandar kepada nilai-nilai adat, seni budaya, atau dunia wisata di Lampung. Panjang cerpen maksimal 10 halaman kuwarto, diketik 1,5 spasi, font Times New Roman 12.

Peserta berusia minimal 17 tahun, dapat mengirimkan maksimal tiga naskah cerpen dan masing-masing naskah rangkap empat. Setiap karya disertai kartu identitas (KTP/SIM/Kartu Mahasiswa/Kartu Pelajar) dan biodata atau keterangan lain pada lembaran terpisah. Naskah lomba penulisan cerpen tingkat nasional tersebut dikirim ke Panitia Krakatau Award 2010, Sekretariat Dewan Kesenian Lampung Jalan Gedung Sumpah Pemuda Kompleks PKOR Wayhalim, Bandar Lampung selambat-lambatnya 30 Juni 2010 (cap pos).

Sumber: Pikiran Rakyat, 07 Maret 2010
READ MORE - Krakatau Award 2010

Call for Paper Warta Kebijakan Iptek dan Manajemen Litbang

Selasa, 02 Maret 2010

Kepada Bpk/Ibu/Sdr. Dosen/Peneliti

Redaksi Warta Kebijakan Iptek dan Manajemen Litbang (Warta KIML), Pusat Penelitian Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (PAPPIPTEK) – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengundang Bpk/Ibu/Sdr untuk mempublikasikan hasil-hasil penelitian dan pengkajian perkembangan iptek dan kemajuan litbang dan inovasi dari empat sudut pandang, yaitu: ekonomi; sosial & budaya; kebijakan, dan; manajemen. Warta KIML juga menekankan suatu gabungan pelbagai sudut pandang, yaitu melihat inovasi teknologi sebagai sistem kompleks.

Pada Tahun 2010 ini, Warta KIML yang terakreditasi sebagai Jurnal Ilmiah sesuai dengan SK No. 536/D/2007 akan menerbitkan 2 (dua) edisi reguler masing-masing edisi Juli 2010 dan edisi Desember 2010. Penerbitan edisi pertama 2010 dapat kiranya mengirimkan paper paling lambat 10 Maret 2010.
Paper hasil penelitian ataupun pengkajian dari Bpk/Ibu/Sdr. dapat dikirimkan dalam format MS Word sesuai aturan penulisan yang kami lampirkan berikut:

Pedoman Penulisan Warta PAPPIPTEK

Paper dapat dikirim ke alamat email berikut:

vett001@lipi.go.id

dan cc ke:

vetti_rina@yahoo.com
prakoso.bp@gmail.com
fizzanty@yahoo.com

Terima kasih atas perhatian dan partisipasinya
Redaksi Warta Kebijakan Iptek dan Manajemen Litbang
READ MORE - Call for Paper Warta Kebijakan Iptek dan Manajemen Litbang

 
 
 

BERGABUNG DENGAN BLOG INI

PENJAGA LAMAN

Foto Saya
prakoso bhairawa
Lahir di Tanjung Pandan (pulau Belitung), 11 Mei 1984. Ia memiliki nama pena KOKO P. BHAIRAWA. Duta Bahasa tingkat Nasional (2006) ini kerap menulis di berbagai media cetak Nasional dan Daerah. Buku-bukunya: Megat Merai Kandis (2005), La Runduma (2005), Ode Kampung (2006), Uda Ganteng No 13 (2006), Menggapai Cahaya (2006), Aisyah di Balik Tirai Jendela (2006), Teen World: Ortu Kenapa Sih? (2006). Asal Mula Bukit Batu Bekuray (2007), Medan Puisi (2007), 142 Penyair Menuju Bulan (2007), Ronas dan Telur Emas (2008), Tanah Pilih (2008), Putri Bunga Melur (2008), Aku Lelah Menjadi Cantik (2009), Pedas Lada Pasir Kuarsa (2009), Cerita Rakyat dari Palembang (2009), Wajah Deportan (2009), Pendekar Bujang Senaya (2010), Ayo Ngeblog: Cara Praktis jadi Blogger (2010), dan Membaca dan Memahami Cerpen (2010). Tahun 2009 menjadi Nominator Penulis Muda Berbakat – Khatulistiwa Literary Award. Saat ini tercatat sebagai peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Beralamat di koko_p_bhairawa@yahoo.co.id, atau di prak001@lipi.go.id
Lihat profil lengkapku