SUDAH PINDAH RUMAH -> ADA KOKO

Jejaring Pariwisata

Senin, 26 Juli 2010

Penggunaan teknologi informasi ternyata juga menciptakan peluang dalam penguatan jejaring pada sektor pariwisata. Egger (2008) mengemukakan, media internet adalah pusat informasi yang paling penting dalam perencanaan perjalanan wisata. Jaringan virtual ini menciptakan rantai nilai ekonomi yang terhubung antara satu kepentingan dan kepentingan lainnya dalam kerangka industri pariwisata.

Dukungan teknologi informasi selanjutnya terlihat dengan tersedianya e-tourism. E-tourism didefinisikan oleh Ndou dan Passiante (2005) sebagai batasan tentang sistem jaringan pariwisata yang terbuka dengan segala kemandirian terhadap keberagaman yang merujuk pada infrastruktur teknologi informasi dan terintegrasi dengan nilai-nilai.

Konsep ini selajutnya diperjelas oleh Putera dkk. (2008) bahwa e-tourism dipandang sebagai bentuk pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk meningkatkan daya guna dalam bidang pariwisata, memberikan berbagai jasa layanan pariwisata kepada customers dalam bentuk telematika dan menjadikan penyelenggaraan pemasaran pariwisata lebih mudah diakses.

E-tourism merupakan kesatuan sistem dari destination management systems (DMS). Sebagai satu sistem, DMS akan saling ketergantungan dengan komponen yang lain sehingga DMS merupakan kesatuan yang tidak dapat terpisahkan antara teknologi informasi dan komunikasi (TIK), pariwisata, bisnis, serta pemerintah.

Kelemahan

Egger (2008) memberikan empat kelemahan jejaring tujuan wisata selama ini, yaitu culture and leisure facilities, hoteliers, potential guests, dan pengelolaan pariwisata.

Ada beberapa situs pariwisata yang memang bisa dilacak dengan mesin pencari, tetapi ada juga yang tidak bisa dilacak. Hal ini disebabkan informasi mengenai pariwisata hanya tersimpan pada halaman-halaman situs yang tidak terintegral satu sama lain pada kawasan yang sama. Hal semacam ini menyebabkan pengunjung tidak mengetahui budaya dan keunggulan suatu tujuan wisata. Culture and leisure facilities biasanya dijadikan sebagai pilihan pengunjung untuk mendatangi suatu wilayah tujuan wisata. Informasi-informasi seperti ini kurang tersedia di dalam fasilitas e-tourism.

Pengunjung biasanya mendatangi suatu wilayah, lebih untuk menikmati daerah tujuan wisata. Namun, hotel hendaknya tetap menyediakan informasi tambahan untuk mendatangkan pengunjung tersebut menikmati akomodasi dari hotel. Seperti, layanan tur, fasilitas wisata tambahan, ataupun kenyaman seperti mandi uap dan spa. Fasiltas tersebut sering diabaikan oleh pengelola hotel, dengan hanya menampilkan video ataupun gambar dengan kualitas yang kurang baik. Hal ini tentu akan berpengaruh terhadap deskripsi tentang akomodasi yang akan diperoleh pengunjung, jika memilih hotel tersebut.

Saat ini banyak sekali tamu potensial yang kebingungan untuk merencanakan kunjungan wisata mereka. Keterbatasan informasi yang hanya diperoleh dari situs hotel, situasi informasi pariwisata membuat tamu-tamu potensial tersebut tidak bisa dengan jelas merencanakan dan menentukan pilihan.

Pengelolaan pariwisata biasanya tunduk pada batas-batas geografis dan politik. Akan tetapi, bagi pengunjung, mereka lebih memperhatikan pada topografi, budaya, bahasa, dan sebagainya sehingga perbedaan ini sering terjadi perdebatan pada pelaksanaannya. Keempat aspek ini menjadi hal-hal yang selama ini dirasakan bersinggungan dalam pelaksanaan kegiatan kepariwisataan di daerah.

Paradigma baru

Ada konsep baru yang mencoba memberikan jawaban terhadap permasalahan lemahnya sistem jejaring pariwisata. Konsep tersebut dinamakan destination management organization (DMO). DMO adalah sistem pengelolaan pariwisata terpadu yang memiliki kelengkapan sebagai satu sistem.

Morrison, Bruen, dan Anderson (1998) memberikan lima fungsi dari DMO. Pertama, sebagai economic driver dalam menghasilkan pendapatan daerah, lapangan pekerjaan, dan penghasilan pajak yang memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi lokal. Kedua, sebagai community marketer dalam visualisasi gambar tujuan wisata, kegiatan pariwisata sehingga menjadi pilihan pengunjung. Ketiga sebagai industry coordinator yang memiliki kejelasan terhadap fokus pertumbuhan industri yang mendatangkan hasil melalui pariwisata. Keempat, sebagai quasi-public representative, yaitu keterwakilan pendapat terhadap industri pariwisata yang dinikmati pengunjung ataupun grup pengunjung. Kelima, sebagai builder of community pride, peningkatan kualitas hidup.

Koordinasi pemangku kepentingan (coordination tourism stakeholders) merupakan inti dari sistem DMO. Komponen ini menjadi kunci sukses karena menitikberatkan pada hubungan jejaring yang membentuk sistem DMO.

Sebagai salah satu kompenen khas dari DMO, pengelolaan tamu (visitor management) menjadi penting dalam pasokan produk jasa terhadap pengunjung. Informasi/riset mendukung semua kegiatan dari DMO. Kegiatan ini menjadi bermanfaat karena memberikan gambaran secara komprehensif tentang selera pasar, pasokan industri pariwisata, dan kesenjangan yang perlu diatasi melalui perencanaan dan pembangunan. Informasi/riset diperlukan untuk mendukung keputusan dan tindakan yang dilakukan dari setiap kegiatan.

Perlu pula dilakukan pengembangan sumber daya manusia (SDM), terdiri atas kegiatan untuk meningkatkan keterampilan SDM di bidang pariwisata, seperti pelatihan dan kerja praktik di beberapa pusat-pusat pelatihan dan industri pariwisata.

Tujuan pemasaran menjadi ujung tombak dalam komponen DMO. Keberhasilan DMO ditentukan bagaimana tujuan pemasaran dapat menarik sebanyak-banyaknya pengunjung untuk datang ke wilayah yang telah dipromosikan. Dengan kata lain, pengembangan DMO sebagai bentuk baru dalam pengelolaan pariwisata daerah menjadi penting bagi pemanfaat teknologi informasi dan komunikasi untuk pariwisata. ***

Oleh PRAKOSO BHAIRAWA PUTERA
Penulis, peneliti muda kebijakan dan perkembangan Iptek Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)

Publikasi PIKIRAN RAKYAT, edisi 26 JULI 2010
READ MORE - Jejaring Pariwisata

Anak sebagai Generasi Penerus Bangsa

Jumat, 23 Juli 2010

Setiap orangtua pada umumnya mendambakan anaknya menjadi orang yang berguna bagi diri, keluarga, bangsa, dan agamanya. Namun, mungkin kita mendapatkan kenyataan lain bahwa ada orangtua bersikap dan memperlakukan anaknya dengan cara-cara yang kurang proporsional.

Ada orangtua memandang bahwa anak merupakan suatu yang sangat didambakan oleh keluarga. Ia dianggap akan menjadi penyambung silsilah generasi mendatang dengan segala citra yang indah. Sang anak juga dipandang sebagai investasi jangka panjang bagi suatu keluarga, baik investasi yang bersifat sosial-ekonomis maupun spiritual.

Bertambahnya permasalahan anak dewasa ini bersumber dari kegagalan orangtua dalam proses pengasuhannya akibat berbagai kendala yang dihadapi oleh orangtua. Maka, secara umum permasalahan anak lebih tepat jika diistilahkan dengan "ketelantaran anak".

Dalam terminologi "anak telantar" menunjuk pada anak yang karena suatu sebab tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya dan tidak mendapatkan pengasuhan secara layak. Lagi-lagi, masalah kemiskinan dapat berdampak pada persoalan pengasuhan anak, meski mungkin ada juga faktor lainnya, misalnya pola asuh dari orangtua yang rejective (menolak).

Menurut Hanna Wijaya (1986), indikator pola asuh yang rejective antara lain terlihat pada sikap orangtua yang tidak tertarik pada anak dan cenderung mengabaikannya. Bahkan ada orangtua yang sering menghukum, suka menyalahkan, bertindak bengis, dan bahkan tega mengusir anaknya.

Situasi macam ini dapat menjadi penyebab anak lari dari rumah dan bergabung dengan anak-anak sebaya lain yang telah berada di luar. Dengan demikian, mereka menjadi anak telantar dan menimbulkan problematik baru.

Betapapun kemiskinan bukan satu-satunya penyebab ketelantaran anak, namun data empiris menunjukkan bahwa sebagian besar permasalahan sosial, termasuk masalah anak telantar, bersumber dari kemiskinan. Kemiskinan menunjuk pada rendahnya tingkat ekonomi seseorang, sehingga mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan yang paling dasar.

Problematik anak mesti dipecahkan. Bagaimana memfasilitasi anak agar dapat bertumbuh kembang sebagaimana anak-anak lainnya secara wajar merupakan masalah mendasar yang harus dipecahkan. Problematik anak berarti terkait dengan bagaimana memenuhi hak-hak dasar anak sesuai "Konvensi Hak Anak". Hak-hak dasar anak yaitu hak sipil dan kemerdekaan, lingkungan keluarga dan pilihan pemeliharaan, kesehatan dasar dan kesejahteraan, pendidikan rekreasi dan budaya, serta perlindungan khusus jika terjadi bencana.

Persoalan yang muncul berikutnya adalah problematik anak yang segera memerlukan penanganan. Karakteristik problematik anak sangat bervariasi, mulai dari perbedaan umur, tingkat pendidikan, latar belakang keluarga, jenis aktivitas, hingga asal daerahnya. Sementara dalam menyelesaikan masalah anak, kita menyadari adanya keterbatasan sumber daya dan sumber dana yang dimiliki oleh pemerintah maupun masyarakat. Oleh sebab itu, perlu dilakukan identifikasi tentang problematik anak tersebut sekaligus inventarisasi sumber-sumber daya kelembagaan yang ada di masyarakat. Dengan demikian, optimalisasi peran institusi keagamaan dan kemasyarakatan dalam penanganan maupun pemahaman mengenai berbagai problematik anak dapat dilakukan.

Dalam perundang-undangan, pemerintah telah berupaya mewadahi kepentingan untuk memecahkan problematik anak. Pada 1979 telah disahkan UU No 4 tentang Kesejahteraan Anak. Tahun 1997 pemerintah telah mengeluarkan UU No 4 1997 tentang Penyandang Cacat. Pada 1990 melalui Keputusan Presiden RI No 36 Tahun 1990, Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Convention on the Rights of the Child. Dan, pada 2002 DPR telah mengesahkan UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Dalam undang-undang tersebut, anak didefinisikan sebagai sosok manusia yang belum berumur 18 tahun. Dengan asumsi itu, berdasarkan data saat ini, jumlah anak Indonesia sekitar 40% dari populasi penduduk Indonesia atau sekitar 85 juta anak. Sebagai generasi penerus cita-cita bangsa Indonesia, pada 15-20 tahun mendatang mereka akan menjadi pemimpin bangsa dan penyelenggara negara. Merekalah yang menentukan masa depan bangsa pada masa mendatang.

Namun, jika dicermati tingkat kesejahteraan anak Indonesia saat ini, kenyataannya masih sangat memprihatinkan. Masih banyak anak belum terpenuhi haknya untuk bisa hidup dan tumbuh berkembang menjadi sehat, cerdas, ceria, berbudi luhur.

Anak adalah amanah dan karunia Allah. Pada diri anak melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Oleh karena itu, mewujudkan kesejahteraan dan perlindungan anak merupakan tanggung jawab kita bersama. Mengarahkan anak agar tumbuh dan berkembang dengan baik menjadi kewajiban orangtua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara.

Masih banyak penderitaan dialami anak-anak Indonesia. Banyak di antara mereka terkena lasus polio dan gizi buruk (busung lapar). Fakta lainnya, banyak anak usia sekolah dan remaja terperangkap kebiasaan merokok, terjerat narkoba, dan tertular HIV-AIDS. Di lain pihak terungkap pula bahwa banyak anak menjadi korban kekerasan seks. Ini semua merupakan bagian dari potret anak-anak kita yang perlu mendapatkan penanganan serius.

Masalah lain yang memprihatinkan, berjuta-juta anak tidak memiliki akses terhadap layanan pendidikan berkualitas. Anak-anak di bawah umur pun harus bekerja untuk menambah penghasilan keluarga. Banyak di antaranya malah menjadi korban kekerasan. Ini adalah potret buram lainnya yang terjadi pada anak-anak Indonesia.

Berbagai permasalahan tersebut perlu ditangani demi masa depan anak-anak yang lebih baik pada masa-masa mendatang. Kita semua harus memiliki keyakinan dan optimisme tinggi bahwa sebagai penerus bangsa, anak-anak Indonesia harus bisa dibanggakan. Tidak ada alternatif lain, mereka harus diupayakan agar bisa tumbuh dan berkembang secara wajar, mendapatkan hak-haknya secara layak agar sehat dan cerdas hingga bisa dibanggakan pada masa depan.

Dengan memperhatikan anak-anak sebagai generasi penerus bangsa, harapan kita ke depan, Indonesia adalah negara besar yang kaya sumber daya alam dengan sumber daya manusia berkualitas, yang siap menghadapi persaingan dan tantangan global. ***

Prakoso Bhairawa Putera, Penulis adalah peneliti LIPI, Jakarta

Publikasi di Suara Karya, edisi 23 Juli 2010
READ MORE - Anak sebagai Generasi Penerus Bangsa

BISKOM Edisi Juli 2010

Selasa, 13 Juli 2010


Majalah BISKOM kali ini menampilkan Direktur Jenderal Postel Kementerian Kominfo, Muhammad Budi Setiawan, (Terima kasih kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika yang turut mendukung Majalah BISKOM).

Dalam kesempatan ini, kami sekaligus menawarkan kepada seluruh pembaca untuk bekerjasama saling menguntungkan dengan Majalah BISKOM, baik berupa pengiriman artikel TI, mengadakan seminar, workshop dan pameran serta kegiatan-kegiatan lainnya yang berkaitan dengan dunia TI.

Topik menarik Majalah BISKOM Edisi Juli 2010 diantaranya:

• COVER STORY: Dirjen Postel Kemkominfo, Muhammad Budi Setiawan, IIPv6 Dukung Pengembangan Industri Konten

• FIGURE:
* Teddy Sukardi, PANDI Siap Implementasikan IPv6
* Jumain Appe, e-Proc, Bagian dari Reformasi Birokrasi

• HEADLINE:
* LTE Atau WiMax?
* Gempuran Gadget Hingga Jaringan 4G

• FOCUS:
* Indonesia Siapkan Regulasi LTE
* Berbagai Tantangan Untuk 4G
* Menuju CLOUD COMPUTING
* RPM Konten Multimedia, Antara Pro dan Kontra

• BROWSING:
* Baca iPad Lebih Lambat Dibanding Buku Cetak
* LG Ramaikan Pasar PC Tablet
* Android 2.2 Froyo Tersedia di Nexus One

• INSPIRATION:
* Atang Setiawan: Media Massa dan Kejahatan
* Dirgayuza Setiawan: Do Not Call Register Peraturan Untuk Produktifitas Rakyat
* Bob Julius Onggo: Apa Yang Bisa Didapatkan Dari BUZZ?
* Muhamad Jafar Elly: RPM Konten Multimedia Pasca Heboh “PETERPORN”
* Prakoso Bhairawa Putera: Paradigma Iptek Dalam Masyarakat

• REVIEW & CELLULAR:
* ACER Aspire One AO721
* MSI WIND U130 dan MSI WIND12 U230
* ALIENWARE M11x
* EPSON Stylus T13
* SONY ERICSSON SHAKIRA
READ MORE - BISKOM Edisi Juli 2010

Pendidikan Karakter

Senin, 05 Juli 2010


Akhir-akhir ini pendidikan karakter begitu gencar menjadi sorotan berbagai kalangan di negeri ini. Bahkan, Mohammad Nuh secara tegas mengatakan, pendidikan karakter sangat penting untuk bangsa.

Pendidikan karakter bukan merupakan hal baru. F.W. Foerster (1869-1966) menjadi penggagas awal pendidikan karakter yang menekankan pada dimensi etis spiritual dalam proses pembentukan pribadi. Sejak awal, pendidikan bertujuan untuk pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial subjek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Karakter merupakan sesuatu yang mengualifikasi seorang pribadi. Karakter menjadi identitas yang mengatasi pengalaman kontingen yang selalu berubah. Dari kematangan karakter inilah, kualitas seorang pribadi diukur (Koesoema, 2009).

Penguatan pendidikan karakter menjadi semakin penting di tengah isu-isu yang saat ini berkembang, mulai dari penurunan degradasi moral anak bangsa, budaya instan atau jalan pintas yang begitu digandrungi untuk cepat berhasil, sampai pada bahaya budaya asing yang kurang "pas" untuk generasi muda dan tentunya serbuan bahaya obat-obatan terlarang.

Fenomena semacam ini sungguh ironis jika hanya duduk dan diam menyaksikan tunas muda bangsa ini terlena dalam krisis karakter. Padahal, bangkitnya dunia pendidikan yang telah dirintis Ki Hadjar Dewantara sungguh sangat berarti untuk dicermati dengan saksama. Senada kiranya dengan Nurokhim (2009) bahwa perjuangan kebangkitan pendidikan dengan semangat jiwa nasionalisme dan wawasan kebangsaan adalah modal dasar penanaman karakter dalam pendidikan Indonesia saat itu. Bahkan, rela berkorban demi nusa dan bangsa menjadi alasan untuk tidak mudah dipandang sebelah mata oleh kaum penjajah.

Pendidikan karakter bukan hanya slogan yang datang pada bulan pendidikan Mei-Juni setiap tahunnya lalu pergi begitu saja karena wacana ataupun isu-isu lain timbul. Pendidikan karakter pun bukan hanya tanggung jawab pemerintah, khususnya Kementerian Pendidikan Nasional hingga jajaran di tingkat terkecil sekalipun. Pendidikan karakter hendaklah dipandang sebagai sebuah sistem yang menjadi satu kesatuan dalam upaya peningkatan kualitas generasi bangsa yang benar dan tepat dalam menjalankan fungsi pelaksana ataupun pembaruan yang sejalan dengan cita-cita maupun nilai-nilai luhur Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila. Benar dan tepat merupakan kata kunci, benar dalam pengertian sesuai dengan sebagaimana adanya (seharusnya), dan tepat dalam pengertian cocok ataupun "pas" dengan tatanan nilai yang dipegang teguh oleh bangsa. Karakter menunjukkan jati diri. Jati diri menunjukkan identitas. Sudah selayaknya identitas bangsa dibangun di atas fondasi pendidikan yang lebih kuat dengan pendidikan karakter.

Sebagai sistem, pendidikan karakter harus melibatkan semua pihak. Kesatuan terkecil dan awal dalam pembentukan identitas tunas bangsa di tingkat keluarga haruslah benar-benar diperhatikan secara sadar oleh orang tua dan elemen keluarga lainnya. Penanaman nilai-nilai dasar yang kuat terletak pada level ini. Selanjutnya tugas institusi sekolah dan lingkungan sekolah serta masyarakat dalam menempa, melatih, dan menguatkan karakter dengan nilai-nilai ilmu pengetahuan, jasmani, dan rohani.

Sekolah memberikan penguatan dengan pembelajaran pengetahuan berikut penanaman moral, nilai rasa, dan pekerti luhur. Penghargaan ataupun sanksi harus tetap diberikan. Pemberian penghargaan kepada yang berprestasi menjadi bentuk penyemangat dan motivator untuk menjadi lebih baik. Sanksi kepada yang melanggar menjadikan tindakan untuk mencegah berlakunya nilai-nilai buruk ke tingkat lebih tinggi. Pada tingkat sekolah/institusi pendidikan implementasi character base education dalam setiap mata pelajaran harus terus diberikan dengan porsi yang semakin meningkat. Para pendidik menjadi kunci untuk mencari formula pengajaran dan pembelajaran yang patut kepada anak/peserta didiknya. Inovasi pengajaran dan pendidikan sangat dibutuhkan pada bagian ini. Pengalaman ditambah dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bisa menjadi ramuan yang baik dalam menghasilkan inovasi pendidikan karakter.

Pendidikan di masyarakat tidak kalah penting. Wadah ini sangat menentukan dan berpengaruh terhadap karakter dan watak seseorang. Lingkungan masyarakatlah menjadi penentu penanaman nilai dan rasa yang diperoleh di bangku pendidikan dan keluarga.

Rajutan yang selama ini tidak tersambung secara baik dari setiap subsistem tersebut sudah selayaknya dirajut kembali. Hubungan dan educational networks yang baik dan terbina secara berkelanjutan, berproses secara bertahap adalah penentu keberhasilan sistem. ***

Oleh Prakoso Bhairawa Putera, peneliti muda kebijakan dan perkembangan iptek Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Publikasi di PIKIRAN RAKYAT, 03 Juli 2010

READ MORE - Pendidikan Karakter

 
 
 

BERGABUNG DENGAN BLOG INI

PENJAGA LAMAN

Foto Saya
prakoso bhairawa
Lahir di Tanjung Pandan (pulau Belitung), 11 Mei 1984. Ia memiliki nama pena KOKO P. BHAIRAWA. Duta Bahasa tingkat Nasional (2006) ini kerap menulis di berbagai media cetak Nasional dan Daerah. Buku-bukunya: Megat Merai Kandis (2005), La Runduma (2005), Ode Kampung (2006), Uda Ganteng No 13 (2006), Menggapai Cahaya (2006), Aisyah di Balik Tirai Jendela (2006), Teen World: Ortu Kenapa Sih? (2006). Asal Mula Bukit Batu Bekuray (2007), Medan Puisi (2007), 142 Penyair Menuju Bulan (2007), Ronas dan Telur Emas (2008), Tanah Pilih (2008), Putri Bunga Melur (2008), Aku Lelah Menjadi Cantik (2009), Pedas Lada Pasir Kuarsa (2009), Cerita Rakyat dari Palembang (2009), Wajah Deportan (2009), Pendekar Bujang Senaya (2010), Ayo Ngeblog: Cara Praktis jadi Blogger (2010), dan Membaca dan Memahami Cerpen (2010). Tahun 2009 menjadi Nominator Penulis Muda Berbakat – Khatulistiwa Literary Award. Saat ini tercatat sebagai peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Beralamat di koko_p_bhairawa@yahoo.co.id, atau di prak001@lipi.go.id
Lihat profil lengkapku