SUDAH PINDAH RUMAH -> ADA KOKO

Pemartabatan Masyarakat Komunikatif

Selasa, 30 Juni 2009

Tulisan ini dipublikasi di Harian Pagi Bangka Pos, edisi 29 Juni 2009 (klik disini)


Oleh: Prakoso Bhairawa Putera, Duta Bahasa Nasional, Peneliti LIPI (Jakarta)

untuk mengharapkan warga sekolah dapat menjadi agen perubahan, Counts sendiri mensyaratkan adanya komitmen kolektif ...

Hidup di negeri yang berslogan gemah ripah loh jinawi ini sepertinya tidak mudah lagi. Menghidupi diri tidak dengan gampang layaknya menanam kayu yang kemudian tumbuh dan dapat diolah menjadi bahan makanan seperti yang sering diajarkan nenek moyang. Mencari lahan untuk tinggal pun, harus membayar tinggi jika tidak ingin kebagian tempat di bantaran kali atau tersudut di pojok hutan sambil menunggu digugat oleh petugas dan dimintai biaya untuk administrasi tanah. Bahkan kehidupan nyaman pun tak luput dari tragedi alam hingga lantas berhadapan dengan selalu semrawutnya penanganan pemerintah yang bahkan semakin memperlambat proses bantuan yang secara tulus disalurkan.

Seperti tidak cukup dengan tragedi alam yang kerap terjadi. Persoalan korupsi dan patologi mental birokrasi dan politik lainnya masih terasa. Usaha pemberantasan selalu dihadapkan dengan sebuah budaya yang telah tumbuh dan berkembang lama; menjadi sistemik, dan mambangun pola kerangka berfikir pemerintah. Melawannya (meminjam salah satu buah pikir Milan Kundera) seperti ingatan yang berjuang melawan lupa. Maka, kemiskinan struktural terjadilah. Dan seperti yang dipesankan Nabi Muhammad SAW, kemiskinanlah yang membawa kita menjadi seorang kufur, yang hatinya tertutup dari cahaya kebajikan alias penuh dengan niat dan tekad kriminal. Akan semakin panjang dan lama bila masih ingin menyusun daftar “kekurangan” Indonesia.

Akan semakin beragam pula ungkapan serupa “malu Aku Jadi Orang Indonesia”-nya Taufik Ismail atau “Bangsaku yang Menyebalkan”-nya Eep Saefulloh Fatah. Namun, ajakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono seharusnya juga menjadi sikap kita, tidak hanya bencana yang melanda, tapi kondisi Indonesia secara keseluruhan. “Hanya satu tanah airku. Ia berkembang dengan amal, dan amal itu adalah amalku,”begitu ucap Muhammad Hatta yang juga lebih baik menjadi gumam kita.

Sudah selayaknya kita sebagai bagian dari masyarakat untuk lebih memprioritaskan kebersamaan dalam kebhinekaan, persatuan, kesatuan dan kreativitas membangun bangsa. Karena dengan inilah akan mampu menjalankan paradigma baru bangsa dengan potensi, kreativitas, optimisme, dan sikap kebhinekaan yang mampu menguasai diri dalam ilmu pengetahuan dan teknologi serta tidak melupakan ajaran ilahi. Untuk semua itu perlu adanya persatuan diantara individu-individu bangsa ini, terlebih di antara generasi mudanya.

Sebagai kaum muda harapan bangsa, pemuda wajib membangun kembali benteng persatuan yang sempat goyah. Untuk mengupayakan hal itu harus dimulai dengan komitmen kebangsaan, idealisme yang kuat akan keinginan untuk tetap berpegang teguh pada cita-cita kemerdekaan bangsa dan rasa persatuan kesatuan itu sendiri. Generasi muda juga perlu menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan karena dengan ini berarti kita memperlakukan orang lain secara sama, tanpa membedakan status sosial sehingga orang lain merasakan diperlakukan secara adil sesuai dengan harkat dan martabatnya.

Jika mengkaji gagasan Geogre S. Counts yang meyakini sekolah sebagai salah satu basis pergerakan perubahan sosial, sungguh sangat menarik. Selama ini rasanya pendidikan di Indonesia (kembali) belum maksimal. Padahal untuk mengharapkan warga sekolah dapat menjadi agen perubahan, Counts sendiri mensyaratkan adanya komitmen kolektif terutama dari pendidik untuk memberikan teladan terhadap kesadaran akan tujuan dan visi bersama bangsa. Serta mengajarkan agar tak ragu dan kikuk berhadapan (bahkan menggunakan) kekuasaan yang dapat diraih, selama itu dalam kerangka memperjuangkan tegaknya visi bersama tersebut.

Apabila pemikiran ini kita analogikan dalam sebuah konsep negara, maka kesadaran kolektif sepertinya harus terbangun guna prasyarat untuk mewujudkan sistem sosial dan politik yang tidak mendominasi; dalam bahasa filsafat politik Aristoteles, politik harus menjadi jalan mencapai kehidupan yang baik (goodlife). Tak ada dominasi satu pihak, yang diperlukan adanya paradigma kerja dan paradigma komunikasi.

Dalam perspektif masyarakat yang komunikatif, interaksi atau komunikasi yang berlangsung dua arah, dengan daya saling mengimbangi secara proporsional hanya akan terwujud jika prasyarat intelektual; kesadaran rasional, kemampuan komunikasi itu terpenuhi. Jika tidak hegemoni yang berkuasa hanya akan menjadi warna dominan dan membuat proses kemajuan bangsa kembali mengalami degradasi.

Bekerjasama dapat menumbuhkan kebersamaan yang bermuara pada rasa persatuan dan kesatuan. Sebagai orang muda, jangan takut untuk minta maaf. Dalam kehidupan. Wajar jika terkadang kita melakukan kesalahan. Karena, bila masalah kecil kita biarkan maka lama kelamaan akan menjadi besar dan ini akan membahayakan persatuan kita bersama.

Telah banyak contoh yang mengarah pada hal ini, akankah kita menambahnya. Karena itu, upaya menyelesaikan masalah dari yang kecil-kecil agar tidak membahayakan persatuan bangsa menjadi cara ampuh untuk pemartabatan bangsa. Mengisi waktu luang dengan hal yang bermanfaat dapat menghindarkan dari usaha-usaha provokatif pihak lain.

Di lain pihak, menjaga sikap dan mampu mengendalikan diri dalam kehidupan bermasyarakat perlu dikembangkan. Selain itu, penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam pergaulan sehari-hari dapat dijadikan upaya membangunkan kembali rasa persatuan, karena dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi kesalahpahaman akan terhindar.

Intropeksi atau refleksi adalah cara untuk kembali menyadarkan bahwa apa yang telah, sedang dan akan dilaksanakan. Ibarat kaca spion bagi kita, kita dapat sesekali menengok ke belakang, agar langkah maju kita tak tertikam bahaya laten ataupun kecerobohan yang tak perlu. Termasuk keliru memahami dan menghadapi perubahan.

Masyarakat komunikatif tercipta dengan mampu merasakan kepekaan dan kepedulian serta siap beragumentasi untuk memecahkan permasalahan kompleks yang diidap. Kongkritnya dengan cara itu, dapat mengawal masa-masa sulit ini menuju suatu arah yang tepat. Bagaimanapun menyiapkan seperangkat infrastruktur yang kapabel menyikapi setiap kejutan-kejutan arah angin perubahan secara tenang dan penuh perhitungan dalam konsensus, dapat menyediakan energi yang berlimpah ketika kita amat membutuhkannya. Mengkedepankan prioritas tidak bermakna mengesampingkan kebutuhan lainnya.

Memang yang lebih diperlukan adalah kemampuan memelihara memori dan mengambil pelajaran dari apa yang sudah bersama kita lalui sebagai sebuah bangsa. Sebuah refleksi adalah juga jalan untuk upaya merawat ingatan; bahwa kemerdekaan ini adalah hasil perjuangan beratus dekade oleh berjuta pejuang; bahwa otoriterianisme merupakan jalan yang tidak kita inginkan sebagai bangsa yang bercita-cita dewasa; bahwa represifitas melumpuhkan demokrasi dan intelektualitas; bahwa kebebasan berpikir dan bersuara telah dibayar mahal oleh nyawa yang tak ternilai; bahwa korupsi dan kawan-kawannya telah menghancurkan sendi-sendi keadilan dan meluluhlantakkan harapan untuk hidup makmur, sejahtera, dan berkeadilan; bahwa wajah pendidikan menentukan karakter bangsa; bahwa persoalan bangsa ini adalah persoalan yang harus kita selesaikan secara bersama-sama; bahwa jauh dari tempat kita berada banyak sosok yang tulus bergerak untuk sesuatu yang memiliki nilai kontribusi tinggi daripada kita yang hanya berdiam sambil berpura diskusi dan turut berpikir.**

READ MORE - Pemartabatan Masyarakat Komunikatif

Sepuluh-Sepuluh

Rabu, 24 Juni 2009

Oleh : Prakoso Bhairawa Putera, Duta Bahasa Nasional, Peneliti LIPI.

Tulisan ini dipublikasi di Harian Pagi BANGKA POS, edisi 22 Juni 2009 (klik disini)

Dengan membacakan, maka apa yang sejatinya tak terbaca itu terbantu untuk hadir sebagai makna. Maka, lelaku manusia di dunia ini sejatinya adalah sebuah lelaku membaca...membaca apa saja yang ditatapnya. Hanya dengan membaca manusia ada. Maka mulai hari ini kampanyekan 10 untuk 10, 10 menit untuk 10 lembar setiap hari

Menyisihkan waktu 10 menit mungkin setiap orang mampu untuk melaksanakan, tetapi 10 menit untuk membaca buku mungkin saja berat untuk dilaksanakan. Paling tidak itulah yang dilakukan oleh salah seorang pimpinan (muda) di sebuah perusahaan penyedia layanan telekomunikasi.

Saya ingat betul akan penuturan dan kemampuan beliau menganalisa setiap permasalahan yang ada. Disela-sela waktu, saya dan beliau menyempatkan berdialog tentang kebiasaan sehari-hari.

Sosok pimpinan itu, ternyata selalu mengambil waktu 10 menit setelah mandi sore untuk membaca buku. Kenapa setelah mandi? karena menurut beliau seusai mandi badan terasa enak dan kondisi seperti itu sangat cocok untuk membaca. Bukan hanya itu, suasana ketika membacapun tidak boleh ada gangguan baik dari suara televisi, ataupun ponsel.

Untuk menambah suasana lebih nyamana, tak jarang ruang kamar tempat membaca disemprotkan pengharum ruangan. Nah, alhasil dalam waktu 1 bulan beliau bisa membaca 1-2 buku yang tebalnya lebih dari 150-200 halaman.

Saya terdiam dan berfikir sejenak, alangkah indahnya jika setiap orang (muda) di negeri ini bisa hidup dan membiasakan diri melakukan kegiatan semacam itu. Terlebih kita yang masih tergolong muda. Mungkin saja republik bernama Indonesia, tidak akan lagi miskin pengetahuan dan intelektual. Sehingga mampu keluar dari setiap permasalahan yang menimpa.

Begitu juga dengan pemerintah yang tidak perlu gusar melihat data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (2003) tentang gambaran minat baca bangsa Indonesia. Berdasarkan data tersebut, terlihat jelas bahwa penduduk Indonesia berumur di atas 15 tahun yang membaca koran hanya 55,11 persen.

Sementara yang membaca majalah atau tabloid hanya 29,22 persen, buku cerita 16,72 persen, buku pelajaran sekolah 44,28 persen, dan yang membaca buku ilmu pengetahuan lainnya hanya 21,07 persen.

Data BPS lainnya juga menunjukkan bahwa penduduk Indonesia belum menjadikan baca sebagai sumber utama mendapatkan informasi. Orang lebih memilih menonton televisi dan atau mendengarkan radio.

Malahan kecenderungan cara mendapatkan informasi lewat membaca stagnan sejak 1993. Hanya naik sekitar 0,2 persen. Jumlah itu jauh jika dibandingkan dengan menonton televisi yang kenaikan persentasenya mencapai 21,1 persen.

Data pada 2006 menunjukkan bahwa orang Indonesia yang membaca untuk mendapatkan informasi baru 23,5 persen dari total penduduk. Sementara itu, mendapatkan informasi dengan menonton televisi sebanyak 85,9 persen dan mendengarkan radio sebesar 40,3 persen.

Bahkan berdasarkan Human Development Report 2007/2008 yang dikeluarkan oleh United Nations Development Programme (UNDP), menyatakan bahwa Human Development Index (HDI) Indonesia di urutan 107 dengan 0,728, dan tragisnya Indonesia berada dua tingkat di bawah Vietnam 0,733 (peringkat 105).

Lalu dimana posisi negara-negara tetangga lainnya? Jauh, jauh diatas Indonesia, Singapura 0,922 (Peringkat 25), Brunei 0,894 (30), Malaysia 0,811 (63), Thailand 0,781 (78), dan Filipina 0,758 (90). Tiga negara seperti Singapura, Brunei dan Malaysia masuk dalam jajaran negara High Human Development.

Pengukuran HDI merupakan perbandingan dari harapan hidup, melek huruf, pendidikan, dan standar hidup untuk semua negara seluruh dunia. HDI digunakan untuk mengklasifikasikan apakah sebuah negara adalah negara maju, negara berkembang, atau negara terbelakang dan juga untuk mengukur pengaruh dari kebijaksanaan ekonomi terhadap kualitas hidup.

Hasil ini jelas sekali mengindikasi bahwa belum maksimalnya kualitas bangsa ini, dan salah satu faktornya belum maksimalnya angka melek huruf.

Rendahnya budaya baca disebabkan budaya generasi muda yang cenderung menyukai tontonan. Tontonan tersebut dihadirkan oleh media elektronik (televisi). Toeti Adhitama (2008) menyebutkan bahwa kemajuan media elektronik adalah salah satu faktor yang ikut menghambat lajunya minat baca.

Sejak dahulu masyarakat lebih mengandalkan budaya lisan daripada tulisan. Masyarakat lebih menyukai menonton wayang, atau yang sejenisnya. Maka tidak terlalu kaget ketika melihat masyarakat saat ini rela menghabiskan waktu di depan televisi daripada membaca.

Gejala semacam ini sebenarnya ada di setiap negara, bergantung pada kelompok masyarakatnya, tontonannya, dan jenis bahan bacaan yang ada.

Dan, jika kita mau lebih dalam memahami esensi membaca, kita bisa melihat sebuah kisah dalam Al Quran yang menyebutkan bahwa semesta berawal dari “kata” yang menjadi pengetahuan. Barangkali karena semesta berawal dari “kata” inilah maka perintah bagi manusia adalah “bacalah!”.

Kenapa “bacalah”?. Karena segala yang mesti dibaca tak mampu membacakan dirinya sendiri tanpa ada niat dari manusia untuk membacanya.

Dengan membacakan, maka apa yang sejatinya tak terbaca itu terbantu untuk hadir sebagai makna. Maka, lelaku manusia di dunia ini sejatinya adalah sebuah lelaku membaca...membaca apa saja yang ditatapnya. Hanya dengan membaca manusia ada. Maka mulai hari ini kampanyekan 10 untuk 10, 10 menit untuk 10 lembar setiap hari.(*)

READ MORE - Sepuluh-Sepuluh

Majalah BISKOM Edisi Juni 2009

Rabu, 10 Juni 2009


Pada Edisi BISKOM kali ini kembali memuat tulisan saya dalam artikel berjudul Migrasi ke Bahan Ajar Digital.

Majalah BISKOM kali ini menampilkan Sekretaris Dirjen Aptel Depkominfo, Djoko Agung Hariyadi (Terima kasih kepada Ditjen Aptel Depkominfo yang turut mendukung Majalah BISKOM).

Dalam kesempatan ini, kami sekaligus menawarkan kepada seluruh pembaca untuk bekerjasama saling menguntungkan dengan Majalah BISKOM, baik berupa pengiriman artikel TI, mengadakan seminar, workshop dan pameran serta kegiatan-kegiatan lainnya yang berkaitan dengan dunia TI.

Topik menarik Majalah BISKOM Edisi Juni 2009 diantaranya:

COVER STORY: Djoko Agung Hariyadi, Sekretaris Dirjen Aptel Depkominfo, “Pemerintah Peduli Konten Internet Sehat”

FIGURE:
  • Sales and Marketing Director IM2, Abu Syukur Nasution “IM2 Siap Terapkan WiMax“
  • Konsultan Sekuriti Sistem, Dani Firmansyah (Xnuxer) “Saya Bukan Hacker”
HEADLINE: Mengukur Efektivitas TI dalam Pilpres

FOCUS:
  • Sahabat SBY Siap Sukseskan SBY-Berbudi
  • Menyoal Putusan UU-ITE
  • UU KIP Untuk Clean & Good Governance
  • Special Interview With 11 Hackers
  • Masyarakat Hacker Indonesia
  • Indonesia Demam Blackberry
  • Banyak Kendala, NGN Tetap Menjanjikan
  • Memulai Era TV Digital
BROWSING:
  • Facebook Terapkan Open ID
  • Google Ganti logo?
  • Beatles Jadi Video Game Rock Band
INSPIRATION:
  • Cicilia Lusiani: Membangun E-Parlemen Untuk E-Demokrasi
  • Bambang Dwi Anggono: Keamanan Informasi Milik Pemerintah
  • Dirgayuza Setiawan: Dari ‘Media’ ke ‘We-dia’: 60 Menit Bersama Joe Trippi
  • Arli Aditya Parikesit: Seni dan Desain Pada Linux
  • Najamudin: Pengembangan Industri Software Nasional
  • Prakoso Bhairawa Putera S.: Migrasi ke Bahan Ajar Digital
  • Muhamad Jafar Elly : GOOGLE OCEAN Dalam Konferensi Kelautan Dunia 2009
REVIEW & CELLULAR:
  • Lenovo ThinkPad T400 6473TBM
  • Advan G2T-64S
  • Canon EOS 500D
  • LG GC-900
  • Samsung Star S5233
Dapatkan Majalah BISKOM di Toko Buku Gramedia dan Gunung Agung atau berlangganan melalui Bagian Sirkulasi Majalah BISKOM. Untuk review, ujicoba, update harga produk dan kegiatan perusahaan Anda, hubungi redaksi[at]biskom.web.id

READ MORE - Majalah BISKOM Edisi Juni 2009

Teknologi Hijau

Jumat, 05 Juni 2009

Tulisan ini dipublikasi di PIKIRAN RAKYAT, 05 Juni 2009 (klik disini)


Oleh Prakoso Bhairawa Putera S.

ISU lingkungan yang semula sekadar wacana pada 1950-an, justru di awal milenium ini muncul menjadi isu global. Seketika semua pihak kembali mengintrospeksi apa yang telah dilakukan terhadap lingkungan hidup yang notabene menjadi tempat kehidupan makhluk dan tempat memperoleh semua kebutuhan akan sumber daya.

Memang dalam mempertahankan kehidupan, manusia tidak dapat melepaskan diri dari lingkungan hidupnya. Manusia selalu bergantung dan berinteraksi dengan lingkungan hidupnya secara terus-menerus (Bintarto,1983). Dari hubungan timbal balik manusia dengan lingkungan hidupnya, dalam hal ini ekosistem, manusia memperoleh pengalaman, sehingga ia akan mendapatkan gambaran atau citra terhadap lingkungan hidup. Dari perjalanan dan pengalaman manusia, seseorang akan mendapatkan petunjuk tentang berbagai hal yang diharapkan dari lingkungan hidupnya. Tentang apa yang diperbolehkan dan apa yang tidak boleh diperbuat terhadap lingkungan sekitarnya.

Indonesia mengalami dua permasalahan utama yang berhubungan dengan lingkungan hidup. Pertama, permasalahan lingkungan hidup yang disebabkan kemiskinan akibat dari pertumbuhan penduduk yang tinggi. Kedua, masalah lingkungan hidup berkaitan dengan perusakan dan pencemaran lingkungan yang disebabkan aktivitas manusia yang sering disebut dengan pembangunan.

Harus diakui, pembangunan selama ini dititikberatkan pada pertumbuhan ekonomi, pemerataan hasil pembangunan, dan terjaminnya stabilitas nasional. Namun, pola ini oleh praktisi lingkungan hidup, Emil Salim, dianggap sudah tidak layak lagi. Saat ini, dibutuhkan pola pembangunan yang berkelanjutan. Gerak pembangunan tidak hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi namun juga mempertimbangkan kelestarian lingkungan hidup. Tujuannya agar setiap kegiatan yang mengatasnamakan kesejahteraan umum tidak lagi menyebabkan kerusakan terhadap lingkungan hidup.

Ada beberapa hal yang patut menjadi renungan dan pemikiran semua pihak. Hutan hujan tropis yang sudah jauh dari bentuk aslinya karena ulah manusia. Peningkatan lapisan gas CO2 di atmosfer dan penipisan lapisan ozon, sehingga menyebabkan pemanasan bumi.

Pemanasan global mengancam kerusakan terumbu karang di kawasan segitiga terumbu karang (coral triangle ) di enam negara, yaitu Indonesia, Malaysia, Kepulauan Salomon, Papua Nugini, Timor Leste, dan Philipina. Kerusakan segitiga terumbu karang ini dikhawatirkan merusak kehidupan masyarakat lokal yang berada di sekitarnya. Indonesia sebagai negara yang memiliki kawasan terumbu karang terluas di dunia, yakni 51.000 km persegi atau 20% dari luas terumbu karang dunia, namun sekitar 50% dalam kondisi rusak parah.

Kondisi serupa pun terjadi pada lahan hutan mangrove di Indonesia. Sekitar seperempat hutan dari 4,5 juta hektare mangrove di Indonesia kondisinya memprihatinkan. Alih fungsi lahan dengan pembabatan pohon mangrove telah memperburuk kondisi sumber daya potensial pesisir Indonesia.

Permasalahan lingkungan juga menghantui kawasan perkotaan. Pencemaran udara di kota-kota besar mengancam kesehatan warga. Gejala gangguan kesehatan pada balita karena terkena dampak timah hitam dari bahan bakar bensin terus diwaspadai. Kota pun mengalami krisis air bersih di beberapa titik.

Ramah lingkungan

Negara-negara maju seperti Jerman dan Korea Selatan telah berupaya untuk memaksimalkan peran dalam keselamatan bumi untuk masa depan. Program tersebut merujuk pada teknologi hijau, suatu aplikasi teknologi yang bertujuan praktis pada metode penggunaan bahan maupun proses produksi yang menghasilkan produk tidak beracun dan aman bagi lingkungan. Teknologi ramah lingkungan ini dapat berbentuk produk-produk aplikasi inovatif yang tidak merusak lingkungan dan tidak beracun untuk tubuh manusia.

Pada awal 2009, pemerintah Korea Selatan berinvestasi 38 miliar dolar AS untuk empat tahun ke depan melalui pembangunan ramah lingkungan di negaranya. "Green New Deals" adalah program untuk menciptakan lapangan pekerjaan dan merangsang pertumbuhan ekonomi dengan memperhatikan lingkungan. Program ini meliputi 36 projek, termasuk pembangunan jaringan lintasan sepeda senilai 11 triliun won, pembangunan "Green Homes" untuk penghematan energi dengan menggunakan gas dari sampah serta pengembangan teknologi kendaraan hibrida.

Begitu juga dengan Jerman yang merintis pemanfaatan energi terbarukan menjadi atraktif dan ekonomis sejak 1990-an. Kebijakan ini melahirkan undang-undang energi terbarukan yang memberi insentif untuk pemakaian energi terbarukan. Pemerintah Federal telah mengesahkan program pelestarian energi dan iklim terpadu pada akhir 2007. Sasaran yang dituju ialah penurunan emisi CO2 sebesar empat puluh persen.

Keberhasilan negara-negara tersebut sepertinya berpijak pada level kebijakan yang lebih konkret pada tindakan dan bukan retorika pada kata dalam naskah kebijakan saja. Sepertinya, hal semacam ini menjadi pekerjaan rumah dan tugas kita bersama untuk terus mengawal setiap kebijakan ataupun program pemerintah untuk bumi Indonesia yang lebih baik di masa depan.***

Penulis, Sivitas Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

READ MORE - Teknologi Hijau

Inovasi Pendidikan Butuh TIK

Kamis, 04 Juni 2009


DALAM rangka memperingati hari Pendidikan Nasional Tahun 2009, FKIP Universita Sriwijaya (Palembang) mengadakan Seminar Nasional Pendidikan, 14 Mei 2009 di Gedung Auditorium Pascasarjana Unsri, dengan Keynote Speaker Prof. Dr. Liliasari, M.Ed. dari Universitas Pendidikan Indonesia, Prof. Drs. Tatang Suhery, M.A., Ph.D., dari Universitas Sriwijaya, Prakoso Bhairawa Putera, S.IP. dari Pusat Penelitian Perkembangan IPTEK LIPI, dan Gubernur Sumatera Selatan, yang diwakili oleh Staf Dinas Pendidikan Nasional Provinsi Sumatera Selatan. Seminar dengan tema “Pengembangan Pembelajaran Inovatif dan Bermutu Menuju Profesionalisme Guru dalam Perspektif Sekolah Gratis” dibuka oleh Rektor Universitas Sriwijaya Prof. Dr. Badia Perizade. Hadir dalam kesempatan itu para Guru Besar FKIP Unsri, Dekan FKIP Universitas Muhammdiyah, Kepala UPBJJ UT Palembang, dan Asisten I Direktur Pascasarjana Unsri serta undangan lainnya. Menurut Ketua Panitia Pelaksana, Drs. Didi Jaya Santri, M.Si., kegiatan ini diikuti oleh 700 peserta yang berasal dari 13 Provinsi di Indonesia, terdiri dari dosen, peneliti, guru SD, SMP, SMA dan sederajat, serta pejabat di lingkungan Dinas Pendidikan. Dalam seminar ini juga dipresentasikan 120 makalah hasil dari penelitian dan pemikiran kritis dari para guru dan dosen yang berkaitan dengan pengembangan pembelajaran inovatif, profesionalisme guru, sekolah gratis, dan peranan LTPK dalam menghasilkan guru professional.

Dari pertemuan ini para peserta mendapatkan wawasan dan pengalaman melakukan kegiatan seminar ilmiah, memberikan motivasi pada guru dan dosen untuk meneliti, menulis, dan mempresensikan hasil penelitiannya. Lebih lanjut Liliasari dalam makalahnya mempertegas perlunya penyelenggaraan pembelajaran yang inovatif dan menggunakan berbagai media, terutama yang berbasis TIK; mendorong guru untuk lebih cepat mencapai kompetensi-kompetensi seperti yang diatur dalam Peraturan Pemerintah RI No. 74/2008 dan Peraturan Mendiknas No. 16/2007, agar guru menjadi profesional.

Hal senada pun diungkapkan oleh Prakoso Bhairawa bahwa dalam era konvergen, perkembangan IPTEK telah masuk dalam ranah pendidikan. Hal ini dibuktikan dengan berkembangnya bahan ajar yang dulunya analog menjadi digital. Bahkan kini telah hadir e-education yang kemudian menjadi solusi pembelajaran melalui TIK dengan e-learningnya.

Prakoso juga mempertegas peluang pengembangan digitalisasi bahan ajar (modern) dengan e-learning berbasis WEB bisa terlaksana apabila; adanya kesiapan istitusional, Manajemen Pengelolaan, dan Kesetiaan untuk menggunakan paradigma baru dengan meninggalkan metode konvesional.
READ MORE - Inovasi Pendidikan Butuh TIK

 
 
 

BERGABUNG DENGAN BLOG INI

PENJAGA LAMAN

Foto Saya
prakoso bhairawa
Lahir di Tanjung Pandan (pulau Belitung), 11 Mei 1984. Ia memiliki nama pena KOKO P. BHAIRAWA. Duta Bahasa tingkat Nasional (2006) ini kerap menulis di berbagai media cetak Nasional dan Daerah. Buku-bukunya: Megat Merai Kandis (2005), La Runduma (2005), Ode Kampung (2006), Uda Ganteng No 13 (2006), Menggapai Cahaya (2006), Aisyah di Balik Tirai Jendela (2006), Teen World: Ortu Kenapa Sih? (2006). Asal Mula Bukit Batu Bekuray (2007), Medan Puisi (2007), 142 Penyair Menuju Bulan (2007), Ronas dan Telur Emas (2008), Tanah Pilih (2008), Putri Bunga Melur (2008), Aku Lelah Menjadi Cantik (2009), Pedas Lada Pasir Kuarsa (2009), Cerita Rakyat dari Palembang (2009), Wajah Deportan (2009), Pendekar Bujang Senaya (2010), Ayo Ngeblog: Cara Praktis jadi Blogger (2010), dan Membaca dan Memahami Cerpen (2010). Tahun 2009 menjadi Nominator Penulis Muda Berbakat – Khatulistiwa Literary Award. Saat ini tercatat sebagai peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Beralamat di koko_p_bhairawa@yahoo.co.id, atau di prak001@lipi.go.id
Lihat profil lengkapku