SUDAH PINDAH RUMAH -> ADA KOKO

Sepuluh-Sepuluh

Rabu, 24 Juni 2009

Oleh : Prakoso Bhairawa Putera, Duta Bahasa Nasional, Peneliti LIPI.

Tulisan ini dipublikasi di Harian Pagi BANGKA POS, edisi 22 Juni 2009 (klik disini)

Dengan membacakan, maka apa yang sejatinya tak terbaca itu terbantu untuk hadir sebagai makna. Maka, lelaku manusia di dunia ini sejatinya adalah sebuah lelaku membaca...membaca apa saja yang ditatapnya. Hanya dengan membaca manusia ada. Maka mulai hari ini kampanyekan 10 untuk 10, 10 menit untuk 10 lembar setiap hari

Menyisihkan waktu 10 menit mungkin setiap orang mampu untuk melaksanakan, tetapi 10 menit untuk membaca buku mungkin saja berat untuk dilaksanakan. Paling tidak itulah yang dilakukan oleh salah seorang pimpinan (muda) di sebuah perusahaan penyedia layanan telekomunikasi.

Saya ingat betul akan penuturan dan kemampuan beliau menganalisa setiap permasalahan yang ada. Disela-sela waktu, saya dan beliau menyempatkan berdialog tentang kebiasaan sehari-hari.

Sosok pimpinan itu, ternyata selalu mengambil waktu 10 menit setelah mandi sore untuk membaca buku. Kenapa setelah mandi? karena menurut beliau seusai mandi badan terasa enak dan kondisi seperti itu sangat cocok untuk membaca. Bukan hanya itu, suasana ketika membacapun tidak boleh ada gangguan baik dari suara televisi, ataupun ponsel.

Untuk menambah suasana lebih nyamana, tak jarang ruang kamar tempat membaca disemprotkan pengharum ruangan. Nah, alhasil dalam waktu 1 bulan beliau bisa membaca 1-2 buku yang tebalnya lebih dari 150-200 halaman.

Saya terdiam dan berfikir sejenak, alangkah indahnya jika setiap orang (muda) di negeri ini bisa hidup dan membiasakan diri melakukan kegiatan semacam itu. Terlebih kita yang masih tergolong muda. Mungkin saja republik bernama Indonesia, tidak akan lagi miskin pengetahuan dan intelektual. Sehingga mampu keluar dari setiap permasalahan yang menimpa.

Begitu juga dengan pemerintah yang tidak perlu gusar melihat data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (2003) tentang gambaran minat baca bangsa Indonesia. Berdasarkan data tersebut, terlihat jelas bahwa penduduk Indonesia berumur di atas 15 tahun yang membaca koran hanya 55,11 persen.

Sementara yang membaca majalah atau tabloid hanya 29,22 persen, buku cerita 16,72 persen, buku pelajaran sekolah 44,28 persen, dan yang membaca buku ilmu pengetahuan lainnya hanya 21,07 persen.

Data BPS lainnya juga menunjukkan bahwa penduduk Indonesia belum menjadikan baca sebagai sumber utama mendapatkan informasi. Orang lebih memilih menonton televisi dan atau mendengarkan radio.

Malahan kecenderungan cara mendapatkan informasi lewat membaca stagnan sejak 1993. Hanya naik sekitar 0,2 persen. Jumlah itu jauh jika dibandingkan dengan menonton televisi yang kenaikan persentasenya mencapai 21,1 persen.

Data pada 2006 menunjukkan bahwa orang Indonesia yang membaca untuk mendapatkan informasi baru 23,5 persen dari total penduduk. Sementara itu, mendapatkan informasi dengan menonton televisi sebanyak 85,9 persen dan mendengarkan radio sebesar 40,3 persen.

Bahkan berdasarkan Human Development Report 2007/2008 yang dikeluarkan oleh United Nations Development Programme (UNDP), menyatakan bahwa Human Development Index (HDI) Indonesia di urutan 107 dengan 0,728, dan tragisnya Indonesia berada dua tingkat di bawah Vietnam 0,733 (peringkat 105).

Lalu dimana posisi negara-negara tetangga lainnya? Jauh, jauh diatas Indonesia, Singapura 0,922 (Peringkat 25), Brunei 0,894 (30), Malaysia 0,811 (63), Thailand 0,781 (78), dan Filipina 0,758 (90). Tiga negara seperti Singapura, Brunei dan Malaysia masuk dalam jajaran negara High Human Development.

Pengukuran HDI merupakan perbandingan dari harapan hidup, melek huruf, pendidikan, dan standar hidup untuk semua negara seluruh dunia. HDI digunakan untuk mengklasifikasikan apakah sebuah negara adalah negara maju, negara berkembang, atau negara terbelakang dan juga untuk mengukur pengaruh dari kebijaksanaan ekonomi terhadap kualitas hidup.

Hasil ini jelas sekali mengindikasi bahwa belum maksimalnya kualitas bangsa ini, dan salah satu faktornya belum maksimalnya angka melek huruf.

Rendahnya budaya baca disebabkan budaya generasi muda yang cenderung menyukai tontonan. Tontonan tersebut dihadirkan oleh media elektronik (televisi). Toeti Adhitama (2008) menyebutkan bahwa kemajuan media elektronik adalah salah satu faktor yang ikut menghambat lajunya minat baca.

Sejak dahulu masyarakat lebih mengandalkan budaya lisan daripada tulisan. Masyarakat lebih menyukai menonton wayang, atau yang sejenisnya. Maka tidak terlalu kaget ketika melihat masyarakat saat ini rela menghabiskan waktu di depan televisi daripada membaca.

Gejala semacam ini sebenarnya ada di setiap negara, bergantung pada kelompok masyarakatnya, tontonannya, dan jenis bahan bacaan yang ada.

Dan, jika kita mau lebih dalam memahami esensi membaca, kita bisa melihat sebuah kisah dalam Al Quran yang menyebutkan bahwa semesta berawal dari “kata” yang menjadi pengetahuan. Barangkali karena semesta berawal dari “kata” inilah maka perintah bagi manusia adalah “bacalah!”.

Kenapa “bacalah”?. Karena segala yang mesti dibaca tak mampu membacakan dirinya sendiri tanpa ada niat dari manusia untuk membacanya.

Dengan membacakan, maka apa yang sejatinya tak terbaca itu terbantu untuk hadir sebagai makna. Maka, lelaku manusia di dunia ini sejatinya adalah sebuah lelaku membaca...membaca apa saja yang ditatapnya. Hanya dengan membaca manusia ada. Maka mulai hari ini kampanyekan 10 untuk 10, 10 menit untuk 10 lembar setiap hari.(*)

0 komentar:

Posting Komentar

 
 
 

BERGABUNG DENGAN BLOG INI

PENJAGA LAMAN

Foto Saya
prakoso bhairawa
Lahir di Tanjung Pandan (pulau Belitung), 11 Mei 1984. Ia memiliki nama pena KOKO P. BHAIRAWA. Duta Bahasa tingkat Nasional (2006) ini kerap menulis di berbagai media cetak Nasional dan Daerah. Buku-bukunya: Megat Merai Kandis (2005), La Runduma (2005), Ode Kampung (2006), Uda Ganteng No 13 (2006), Menggapai Cahaya (2006), Aisyah di Balik Tirai Jendela (2006), Teen World: Ortu Kenapa Sih? (2006). Asal Mula Bukit Batu Bekuray (2007), Medan Puisi (2007), 142 Penyair Menuju Bulan (2007), Ronas dan Telur Emas (2008), Tanah Pilih (2008), Putri Bunga Melur (2008), Aku Lelah Menjadi Cantik (2009), Pedas Lada Pasir Kuarsa (2009), Cerita Rakyat dari Palembang (2009), Wajah Deportan (2009), Pendekar Bujang Senaya (2010), Ayo Ngeblog: Cara Praktis jadi Blogger (2010), dan Membaca dan Memahami Cerpen (2010). Tahun 2009 menjadi Nominator Penulis Muda Berbakat – Khatulistiwa Literary Award. Saat ini tercatat sebagai peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Beralamat di koko_p_bhairawa@yahoo.co.id, atau di prak001@lipi.go.id
Lihat profil lengkapku