Cerpen ini dipublikasi di Bangka Pos, edisi 03 Oktober 2010.
Kumandang takbir mulai memenuhi seisi kampung, sebulan sudah kesucian dan keberkatan memenuhi tiap rumah penduduknya.
“Pak, apakah setelah Ramadhan usai, kampung kita tidak diberkahi oleh Allah?” tanya polos Mualimin pada sang bapak sembari menyaksikan anak-anak kampung yang sedang bermain kembang api.
“Kampung kita tetap dan terus diberkahi, asal semangat ramadhan selalu dibawa ditiap-tiap bulan berikutnya” jelas bapak mendekati Mualimin. Sejurus kemudian tangan bapak telah dikedua pundak anaknya berusia tujuh tahun itu.
“Bersuka citalah, raih kemenangan atas usahamu sebulan penuh!” tatapan mata bapak penuh dengan kebahagiaan masuk dari pupil mata hingga tertanam di hati.
Kumandang takbir mulai memenuhi seisi kampung, sebulan sudah kesucian dan keberkatan memenuhi tiap rumah penduduknya.
“Pak, apakah setelah Ramadhan usai, kampung kita tidak diberkahi oleh Allah?” tanya polos Mualimin pada sang bapak sembari menyaksikan anak-anak kampung yang sedang bermain kembang api.
“Kampung kita tetap dan terus diberkahi, asal semangat ramadhan selalu dibawa ditiap-tiap bulan berikutnya” jelas bapak mendekati Mualimin. Sejurus kemudian tangan bapak telah dikedua pundak anaknya berusia tujuh tahun itu.
“Bersuka citalah, raih kemenangan atas usahamu sebulan penuh!” tatapan mata bapak penuh dengan kebahagiaan masuk dari pupil mata hingga tertanam di hati.
Mualimin Rasyid adalah nama lengkapku, anak kedua dari lima bersaudara, yang dibesarkan diantara lindungan perbukitan hijau dengan gemercik air dari aliran sungai kecil. Semerbak aroma pepohonan dengan beragam cita rasa selalu sesak menyinggahi hidung setiap kami memasuki kampung kami. Maklum sebagai sebuah perkampungan kecil dipinggiran kota kabupaten, kampung ini masih terasa asri.
Masyarakatnya hidup dengan damai, menikmati siaran berita RRI di pagi, siang, sore dan malam hari. Selepas beraktivitas di kebun bukit dan kantor-kantor kecil di desa, siaran RRI menjadi pelipur lara terlebih menantikan berbuka puasa.
Masyarakatnya hidup dengan damai, menikmati siaran berita RRI di pagi, siang, sore dan malam hari. Selepas beraktivitas di kebun bukit dan kantor-kantor kecil di desa, siaran RRI menjadi pelipur lara terlebih menantikan berbuka puasa.
Seusai berbuka dan menjalankan ibadah solat Magrib, ramai anak-anak seusiaku berlarian menuju masjid kecil di ujung perkampungan. Cahaya lampu lima watt ditiap sepuluh meter jalan cukup menerangi kampung yang tak lebih banyak dari dua lima kepala keluarga. Selalu ada keceriaan, belajar mengaji, rebutan pentungan bedug tatkala lima waktu solat tiba, dan ketika sahur ramai berkeliling membangunkan orang-orang kampung dengan tabuhan rebana yang tak jelas irama dan nada.
Usai berbuka puasa terakhir, kampung ramai. Anak-anak berlarian dengan memutar tangkai yang memercikkan api lalu melemparkannya ke pepohonan depan rumah. Sungguh indah malam penuh kemenangan. Pengeras suara kampung seakan tak mau kalah, saluran RRI yang berisi takbir disiarkan langsung ke penjuru kampung. Ibu-ibu dan anak-anak perempuannya asyik menata meja tamu dengan toples berisi kue. Sesekali susunan yang telah rapi berganti, satu dua kali ubah formasi hingga dipandang pas dan sepadan dengan ukuran dan bentuk meja.
Ibu-ibu dan remaja putri kampung punya tradisi bersama-sama membuat kue. satu dua rumah secara bersama menyumbang tepung ataupun bahan lain untuk membuat kue bersama, sehingga tak aneh rasanya bila bertamu ketika hari raya akan menemukan kue dengan bentuk dan jenis yang sama antara rumah yang satu dengan yang lainnya.
“Mual,..ayo makan,..sambel goreng ati sudah siap!” dari dapur terdengar suara khas Ibu memanggil menghentikan asyiknya menyaksikan perayaan malam takbir.
“Ayo makan, nanti ikut bapak ke masjid membagikan zakat fitrah.” Kini bapak yang sedari tadi menemaniku beranjak dan menuntun ke dapur.
Suasana damai dan penuh dengan kerinduan seakan menjadi mimpi indah. Semerbak aroma pepohanan mulai berganti dengan bau solar dari mesin tambang. Masjid kampung tidak lagi merelay siaran dari RRI tapi ceramah agama dari CD bajakan tiap sore diputar saat Ramadhan.
Tarawih dan ramainya masjid simbolisme yang terhenti ketika kumandang takbir berbunyi. Anak-anak mengaji di facebook dan twitter.
Berlarian dengan memutar-mutar kembang api hanya milik anak-anak yang tidak memiliki akun di dunia maya. Berbalasan dari dinding ke dinding di jejaring sosial menjadi lebih penting ketimbang membuat kue. Remaja putri lebih suka menemani ibu-ibunya membeli kue-kue hasil buatan warga kampung sebelah yang menyebar kertas daftar kue dan harga sebulan sebelumnya.
Tarawih dan ramainya masjid simbolisme yang terhenti ketika kumandang takbir berbunyi. Anak-anak mengaji di facebook dan twitter.
Berlarian dengan memutar-mutar kembang api hanya milik anak-anak yang tidak memiliki akun di dunia maya. Berbalasan dari dinding ke dinding di jejaring sosial menjadi lebih penting ketimbang membuat kue. Remaja putri lebih suka menemani ibu-ibunya membeli kue-kue hasil buatan warga kampung sebelah yang menyebar kertas daftar kue dan harga sebulan sebelumnya.
Kue-kue di atas meja tiap rumah di kampung lebih seragam, tidak hanya satu atau pun dua rumah saja dengan jenis dan bentuk yang sama. Dari ujung kampung hingga rumah dekat dengan masjid pun hampir-hampir sama menata kue dengan rupa sama. Kebersamaan benar-benar lekat dengan kampungku.
Limun dan sirup tak laku di meja depan, beragam minuman kaleng ataupun air mineral kemasan lebih menjadi idola. Membuat mang Udin pemilik warung kampung harus jauh-jauh hari memesan kebutuhan itu di kota. Bahkan sebulan sebelum takbir berkumandang di dapur ataupun di bawah tempat tidur warga kampung telah dipenuhi tumpukan minuman kaleng atau air mineral kemasan.
Kampung tetap ramai, tetapi itu hanya seminggu atau lebih tepatnya tiga hari jelang Syawal dan tiga hari setelah lebaran. Berbondong-bondong anak-anak yang dulu bermain dan berkejaran di halaman masjid kembali dari kota-kota di Jawa dan Sumatera. Dandanan mereka keren-keren dan lebih modis, artis-artis sinetron yang mulai dikenal sejak kotak bergambar dan bersuara dilihat warga kampung kini menjelma dalam diri anak-anak mereka. Peralatan elektronik serupa komputer jinjing, ponsel ataupun i phone serasa wajib dimiliki. Lantaran sinyal dari menara pemancar operator telekomunikasi yang masih sedikit di kampung, akhirnya mereka jarang berada di dalam rumah.
Mereka lebih suka duduk dan mondar mandir di depan beranda dengan telinga dilekatkan alat canggih bernama ponsel. Mereka berjalan-jalan di dunia maya dengan jaringan seadanya, jiwa mereka hidup, bercanda, saling colek dan sekedar menimpalin komentar teman barunya. Tradisi anak-anak Melayu memang lekat dalam jiwa mereka, walau kini semuanya bertransformasi. Pantun dengan rima senada selalu terdengar tiap kali mang Ali si juragan sahang mencoba menyapa bik Siti tetangga sebelah yang sedang menyapu di halaman.
“Pergi ke hutan mencari jati, sebelumnya minum jamu. Wahai adinda Siti, apa kabarmu?”
Namun, anak-anak Melayu tetaplah anak Melayu, tradisi menyapa dan bersilahturahmi menjadi lebih sederhana dengan berbalasan pesan walau harus menunggu beberapa saat baru bisa terkirim. Waktu telah menyederhanakan dan membuat semuanya terasa mudah. Walau masih saja ada yang tak lekang oleh waktu, lampu lima watt tetap setiap menemani jalan kampung yang tak pernah bisa lebih baik dari lubang dan kerikil. Tiang lampu dari kayu hutan masih juga belum lapuk, walau beberapa diantaranya telah berganti.
“Tak pulang lagi kau Mual,..?”
“Berlebaran sendirian kau di sana?” tanya bapak.
“Masih ada sambel goreng ati pak?” tanya Mual balik.
“Masih, dan akan tetap tersaji di meja meski kau telah dua syawal tak pulang!”
Rawamangun, 3 Syawal 1431 H
Tentang Penulis:
Koko P. Bhairawa nama pena Prakoso Bhairawa Putera. Lahir di Tanjung Pandan (pulau Belitung), 11 Mei 1984. Ia merupakan Duta Bahasa tingkat Nasional 2006. Cerita pendeknya termuat dalam kumpulan cerpen pemenang Sayembara Menulis Cerpen tingkat Nasional 2005 La Runduma (2005), Uda Ganteng No 13 (2006), Menggapai Cahaya (2006), Aisyah di Balik Tirai Jendela (2006), dan kumpulan cerpen tunggal pertama bertajuk Aku Lelah Menjadi Cantik (2009) membawanya menjadi salah satu Penulis Muda Berbakat di Khatulistiwa Literary Award (KLA) 2009. Saat ini tercatat sebagai peneliti muda di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar