Setiap orangtua pada umumnya mendambakan anaknya menjadi orang yang berguna bagi diri, keluarga, bangsa, dan agamanya. Namun, mungkin kita mendapatkan kenyataan lain bahwa ada orangtua bersikap dan memperlakukan anaknya dengan cara-cara yang kurang proporsional.
Ada orangtua memandang bahwa anak merupakan suatu yang sangat didambakan oleh keluarga. Ia dianggap akan menjadi penyambung silsilah generasi mendatang dengan segala citra yang indah. Sang anak juga dipandang sebagai investasi jangka panjang bagi suatu keluarga, baik investasi yang bersifat sosial-ekonomis maupun spiritual.
Bertambahnya permasalahan anak dewasa ini bersumber dari kegagalan orangtua dalam proses pengasuhannya akibat berbagai kendala yang dihadapi oleh orangtua. Maka, secara umum permasalahan anak lebih tepat jika diistilahkan dengan "ketelantaran anak".
Dalam terminologi "anak telantar" menunjuk pada anak yang karena suatu sebab tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya dan tidak mendapatkan pengasuhan secara layak. Lagi-lagi, masalah kemiskinan dapat berdampak pada persoalan pengasuhan anak, meski mungkin ada juga faktor lainnya, misalnya pola asuh dari orangtua yang rejective (menolak).
Menurut Hanna Wijaya (1986), indikator pola asuh yang rejective antara lain terlihat pada sikap orangtua yang tidak tertarik pada anak dan cenderung mengabaikannya. Bahkan ada orangtua yang sering menghukum, suka menyalahkan, bertindak bengis, dan bahkan tega mengusir anaknya.
Situasi macam ini dapat menjadi penyebab anak lari dari rumah dan bergabung dengan anak-anak sebaya lain yang telah berada di luar. Dengan demikian, mereka menjadi anak telantar dan menimbulkan problematik baru.
Betapapun kemiskinan bukan satu-satunya penyebab ketelantaran anak, namun data empiris menunjukkan bahwa sebagian besar permasalahan sosial, termasuk masalah anak telantar, bersumber dari kemiskinan. Kemiskinan menunjuk pada rendahnya tingkat ekonomi seseorang, sehingga mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan yang paling dasar.
Problematik anak mesti dipecahkan. Bagaimana memfasilitasi anak agar dapat bertumbuh kembang sebagaimana anak-anak lainnya secara wajar merupakan masalah mendasar yang harus dipecahkan. Problematik anak berarti terkait dengan bagaimana memenuhi hak-hak dasar anak sesuai "Konvensi Hak Anak". Hak-hak dasar anak yaitu hak sipil dan kemerdekaan, lingkungan keluarga dan pilihan pemeliharaan, kesehatan dasar dan kesejahteraan, pendidikan rekreasi dan budaya, serta perlindungan khusus jika terjadi bencana.
Persoalan yang muncul berikutnya adalah problematik anak yang segera memerlukan penanganan. Karakteristik problematik anak sangat bervariasi, mulai dari perbedaan umur, tingkat pendidikan, latar belakang keluarga, jenis aktivitas, hingga asal daerahnya. Sementara dalam menyelesaikan masalah anak, kita menyadari adanya keterbatasan sumber daya dan sumber dana yang dimiliki oleh pemerintah maupun masyarakat. Oleh sebab itu, perlu dilakukan identifikasi tentang problematik anak tersebut sekaligus inventarisasi sumber-sumber daya kelembagaan yang ada di masyarakat. Dengan demikian, optimalisasi peran institusi keagamaan dan kemasyarakatan dalam penanganan maupun pemahaman mengenai berbagai problematik anak dapat dilakukan.
Dalam perundang-undangan, pemerintah telah berupaya mewadahi kepentingan untuk memecahkan problematik anak. Pada 1979 telah disahkan UU No 4 tentang Kesejahteraan Anak. Tahun 1997 pemerintah telah mengeluarkan UU No 4 1997 tentang Penyandang Cacat. Pada 1990 melalui Keputusan Presiden RI No 36 Tahun 1990, Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Convention on the Rights of the Child. Dan, pada 2002 DPR telah mengesahkan UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Dalam undang-undang tersebut, anak didefinisikan sebagai sosok manusia yang belum berumur 18 tahun. Dengan asumsi itu, berdasarkan data saat ini, jumlah anak Indonesia sekitar 40% dari populasi penduduk Indonesia atau sekitar 85 juta anak. Sebagai generasi penerus cita-cita bangsa Indonesia, pada 15-20 tahun mendatang mereka akan menjadi pemimpin bangsa dan penyelenggara negara. Merekalah yang menentukan masa depan bangsa pada masa mendatang.
Namun, jika dicermati tingkat kesejahteraan anak Indonesia saat ini, kenyataannya masih sangat memprihatinkan. Masih banyak anak belum terpenuhi haknya untuk bisa hidup dan tumbuh berkembang menjadi sehat, cerdas, ceria, berbudi luhur.
Anak adalah amanah dan karunia Allah. Pada diri anak melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Oleh karena itu, mewujudkan kesejahteraan dan perlindungan anak merupakan tanggung jawab kita bersama. Mengarahkan anak agar tumbuh dan berkembang dengan baik menjadi kewajiban orangtua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara.
Masih banyak penderitaan dialami anak-anak Indonesia. Banyak di antara mereka terkena lasus polio dan gizi buruk (busung lapar). Fakta lainnya, banyak anak usia sekolah dan remaja terperangkap kebiasaan merokok, terjerat narkoba, dan tertular HIV-AIDS. Di lain pihak terungkap pula bahwa banyak anak menjadi korban kekerasan seks. Ini semua merupakan bagian dari potret anak-anak kita yang perlu mendapatkan penanganan serius.
Masalah lain yang memprihatinkan, berjuta-juta anak tidak memiliki akses terhadap layanan pendidikan berkualitas. Anak-anak di bawah umur pun harus bekerja untuk menambah penghasilan keluarga. Banyak di antaranya malah menjadi korban kekerasan. Ini adalah potret buram lainnya yang terjadi pada anak-anak Indonesia.
Berbagai permasalahan tersebut perlu ditangani demi masa depan anak-anak yang lebih baik pada masa-masa mendatang. Kita semua harus memiliki keyakinan dan optimisme tinggi bahwa sebagai penerus bangsa, anak-anak Indonesia harus bisa dibanggakan. Tidak ada alternatif lain, mereka harus diupayakan agar bisa tumbuh dan berkembang secara wajar, mendapatkan hak-haknya secara layak agar sehat dan cerdas hingga bisa dibanggakan pada masa depan.
Dengan memperhatikan anak-anak sebagai generasi penerus bangsa, harapan kita ke depan, Indonesia adalah negara besar yang kaya sumber daya alam dengan sumber daya manusia berkualitas, yang siap menghadapi persaingan dan tantangan global. ***
Prakoso Bhairawa Putera, Penulis adalah peneliti LIPI, Jakarta
Publikasi di Suara Karya, edisi 23 Juli 2010
0 komentar:
Posting Komentar