SUDAH PINDAH RUMAH -> ADA KOKO

Orang Muda dalam Sastra Palembang Kini

Rabu, 09 September 2009

Oleh: Prakoso B. Putera, Penulis dan Duta Bahasa Tingkat Nasional 2006

MENGAMATI kemunculan karya sastra, baik itu cerita pendek ataupun puisi di Sumatera Selatan (baca; Palembang) sejak pertengahan tahun 2005 sampai dengan hari ini mengalami perkembangan luar biasa. Media cetak lokal, dalam hal ini Koran harian Sriwijaya Post, Sumatera Ekspres, dan Berita Pagi, khususnya Sriwijaya Post begitu konsisten dalam memuat dan memunculkan nama-nama baru yang dari segi kualitas karya bisa dikatakan baik dan hampir menyamai para senior walupun para terdahulu mereka itu begitu berpengalaman. Jika boleh melihat dari segi usia, nama-nama baru tersebut bisa dikategorikan sebagai orang muda. Saya lebih suka menamai dengan orang muda karena usia mereka berkisar antara 17 tahun sampai 29 tahun.

Orang-orang muda begitu bersemangat memburu publikasi di koran-koran lokal Minggu. Tak ayal, di hari yang sama nama tertentu bisa terpajang di dua – tiga media berbeda (tentunya dengan judul karya dan isi yang berbeda). Tiga karyanya (baik itu cerpen atau puisi) dimuat ditiga rubrik budaya Koran Minggu berbeda, pada hari yang sama. Mereka begitu bersemangat setiap karya muncul di koran Minggu, walau demikian sebuah ketakutan pada diri saya kemudian muncul apakah dengan mengejar jumlah publikasi, kualitas karya tetap diperhatikan.

Fenomena ini ternyata tidak hanya terjadi di lokal Palembang saja, di media-media Nasional pun acap kali memunculkan nama tertentu dalam beberapa media pada ahri yang sama. Akan tetapi ketakutan saya cepat terjawab, orang-orang muda tersebut selain gemar menyerbu koran Minggu lokal mereka juga tidak lupa menyerbu para pendahuluanya untuk sekedar bertanya tentang sebuah karya ataupun berdiskusi ringan. Sebut saja sejumlah wilayah-wilayah diskusi orang-orang muda tersebut, Akademi Sastra Palembang (ASAP), Forum Lingkar Pena (FLP), riakmusi – sebuah komunitas yang baru eksis di Palembang, dan beberapa wahana yang maaf tidak mampu untuk saya tuliskan. Dengan lapang dada mereka menerima nasihat dan bersuka cita setiap menerima masukan dari para terdahulunya.

Memang produktivitas kadang-kadang tidak serta merta berarti positif bagi masa depan kepengarangan. Bila tidak hati-hati, kualitas karya akan sulit dipertahankan, energi kreatif yang diforsir amat beresiko melahirkan karya-karya prematur, sukar dipertanggungjawabkan, baik secara estetik maupun tematik. Gejala ini semoga tidak cepat terjadi dengan orang-orang muda yang saat ini begitu bersemangat memburu koran Minggu maupun berdiskusi untuk memperkaya apresiasi karya.

Peran Media (Redaktur Budaya)

Jika berbicara peran media, semuanya tidak lepas dari redaktur budaya yang bertanggung jawab dalam setiap kemunculan karya-karya di koran Minggu. Adalah Sriwijaya Post seperti yang saya singgung sebelumnya begitu konsisten memunculkan nama dan karya orang-orang muda tersebut (mohon maaf kepada koran-koran lokal lainnya, bukan maksud untuk mengistimewahkan). Orang muda tentu ingin karyanya dibaca orang terlebih para terdahulunya, dan kalau mau dibaca tentu harus dipublikasi – koran Minggu adalah jawaban, lalu apa salah jika karya-karya mereka begitu banyak bertebaran di Minggu lokal. Emm..mungkin kesalahannya karena sering bahkan terlalu sering mencaplok lahan penulis ataupun pemburu lain. Maklumlah, jumlah koran yang menyediakan ruang publikasi puisi, cerita pendek, dan esai budaya amat terbatas, sementara jumlah peminatnya makin membeludak.

Namun, yang tidak boleh dilupakan adalah kebijakan redaksional setiap media selalu didasarkan pada mekanisme seleksi. Artinya, hanya karya-karya bermutu yang akan terpilih sebagai pengisi rubrik budaya. Boleh-boleh saja orang-orang muda tersebut melayangkan setiap karya mereka. Soal mereka terlalu memburu dan sudah mencandu pada publikasi koran, soal produktivitas dan soal kualitas kita serahkan kepada pembaca untuk menilai. Tugas mereka hanya menghidangkan bacaan yang renyah, gampang dicerna, enak dibaca, setelah itu terserah pembaca.

Kehadiran orang-orang muda tersebut bukan sekedar jago kandang saja, sejumlah dari mereka telah berhasil melakukan ekspansi kesejumlah media lain. Sebut saja Padang Ekspres, Lampung Post, Bangka Pos, Annida, Suara Karya, dan Cinta. Karya-karya mereka pun ternyata diminati oleh para redaktur budaya pada media-media tersebut.

Mereka Penulis Palembang Juga

Jika publikasi media belum cukup untuk menguatkan dan mengkukuhkan mereka sebagai penulis-penulis Palembang, maka sejumlah nama dari orang-orang muda tersebut telah diakui karyanya sebagai karya terbaik dalam beberapa kompetisi penulisan karya sastra ditingkat nasional. Sebut saja, Rendi Fadillah yang pernah menjadi juara Harapan dalam Sayembara Cerpen Krakatau Award, Dewan Kesenian Lampung di tahun 2005, di tahun yang sama Koko P. Bhairawa berhasil mensejajarkan namanya dengan cerpenis seperti Wa Ode Wulan Ratna (Jakarta), Aris Kurniawan (Tanggerang), MN Age (Aceh), dan Satmoko (Yogyakarta) sebagai nominator sayembara cerpen tingkat nasional yang diselenggarakan oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga, lalu Ikhtiar Hidayati yang kerap menjadi nominator dan pemenang dalam sayembara penulis cerpen tingkat nasional yang diselenggrakan oleh Pusat Bahasa, ada juga Azzura Dayana, dengan Novel remajanya Alabaster yang mengambil setting Canberra dan Adelaide memenangkan Lomba Menulis Novel Gema Insani Press. Cerpen Lampion, menyabet penghargaan terbaik kedua pada Festival Kreativitas Pemuda 2004 yang diadakan oleh Creative Writing Institute dan Diknas, dan beberapa nama lainnya.

Jika buku yang kemudian menjadi tuntutan atau barometer, maka dengan ini dapat saya pastikan mereka telah mampu menerbitkan karya dalam sejumlah buku dari beberapa penerbitan besar seperti Grasindo, Gema Insani Press, Cinta, Zikrul – Bestari, CWI dan lain-lainya. Bukan hanya itu sejumlah karya mereka seperti puisi dan cerpen acap kali diterbitkan dalam antalogi bersama yang dibukukan secara nasional oleh sejumlah penerbit, walau sampai dengan hari ini niat orang-orang muda itu untuk melahirkan antalogi bersama dibawah label Dewan Kesenian dan penerbitan lokal belum tercapai.

Akhirnya walau sedikit terlambat, ucapan selamat datang orang-orang muda (Pinasti S. Zuhri, Rendi Fadillah, Koko P. Bhairawa, Azzura Dayana, Ikhtiar Hidayati, Nurrahman, Haris Munandar, Dahlia, Handayani, Dian Rennu) dalam percaturan sastra Palembang layak mereka dapatkan. Sebuah pekerja rumah yang sedang menanti didepan adalah meneruskan semangat memburu publikasi bukan hanya di media lokal tapi media nasional seperti Kompas, Republika, Media Indonesia, Tempo bahkan majalah sastra Horison. Kita nantikan kiprah mereka di jagad sastra Indonesia.***

0 komentar:

Posting Komentar

 
 
 

BERGABUNG DENGAN BLOG INI

PENJAGA LAMAN

Foto Saya
prakoso bhairawa
Lahir di Tanjung Pandan (pulau Belitung), 11 Mei 1984. Ia memiliki nama pena KOKO P. BHAIRAWA. Duta Bahasa tingkat Nasional (2006) ini kerap menulis di berbagai media cetak Nasional dan Daerah. Buku-bukunya: Megat Merai Kandis (2005), La Runduma (2005), Ode Kampung (2006), Uda Ganteng No 13 (2006), Menggapai Cahaya (2006), Aisyah di Balik Tirai Jendela (2006), Teen World: Ortu Kenapa Sih? (2006). Asal Mula Bukit Batu Bekuray (2007), Medan Puisi (2007), 142 Penyair Menuju Bulan (2007), Ronas dan Telur Emas (2008), Tanah Pilih (2008), Putri Bunga Melur (2008), Aku Lelah Menjadi Cantik (2009), Pedas Lada Pasir Kuarsa (2009), Cerita Rakyat dari Palembang (2009), Wajah Deportan (2009), Pendekar Bujang Senaya (2010), Ayo Ngeblog: Cara Praktis jadi Blogger (2010), dan Membaca dan Memahami Cerpen (2010). Tahun 2009 menjadi Nominator Penulis Muda Berbakat – Khatulistiwa Literary Award. Saat ini tercatat sebagai peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Beralamat di koko_p_bhairawa@yahoo.co.id, atau di prak001@lipi.go.id
Lihat profil lengkapku